Tuesday, December 31, 2013

(Bukan) Resolusi 2014

Malam ini, tepat setahun yang lalu, saya menulis sederet daftar di atas secarik kertas pada sebuah meja café di tepi Alun-Alun Kidul, Yogyakarta. Orang-orang menyebutnya RESOLUSI.

Saat itu saya menulis Resolusi 2013. Dibuat atas ide spontan dari Mita saat kami dan Rika tengah bergantian mencorat-coret selembar tisu dengan serangkaian racauan untuk Permadi*. 

Saya tidak ingat persis keseluruhan isi yang saya tuliskan. Kertasnya yang waktu itu saya selipkan di dompet pun sudah raib entah kemana. Hilang. Mungkin menguap bersama setumpuk resolusi yang pada akhirnya memang tidak bisa saya gapai. Sedih, ya?

Penasaran dengan arti sesungguhnya dari resolusi, sayapun mengintip KBBI:
resolusi /re·so·lu·si/ /résolusi/ n putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yg ditetapkan oleh rapat (musyawarah, sidang); pernyataan tertulis, biasanya berisi tuntutan tt suatu hal

Lalu apa resolusi saya untuk 2014? Tidak ada. Atau belum ada. Atau mungkin isinya memang masih sama? Entahlah. Saya belum bermusyawarah dengan diri sendiri dan belum tahu akan menuntut siapa. 

Bagaimanapun, SELAMAT MENAPAKI DUA RIBU EMPAT BELAS! Dengan atau tanpa resolusi.

*cerita tentang Permadi bisa dibaca di sini :p

Monday, December 30, 2013

Last Words

Akhir-akhir ini saya punya tontonan favorit baru: HOW I MET YOUR MOTHER. Yap, setelah Mada pernah merekomendasikannya hampir setahun lalu –bahkan sampai meminjamkan DVD season 1 dan 2 yang tak kunjung saya tonton karena tidak ada player-nya-, suatu hari saya melihat Mita asik menonton serial ini di kostannya. Karena dalam sehari ia bisa berkali-kali menonton episode demi episode, lama-lama sayapun turut terjerumus mengikuti kisah Ted dalam menemukan ibu untuk anak-anaknya kelak sekaligus persahabatannya dengan Robin, Barney, Marshall dan Lily ini.

Tapi bukan tentang sitkom Amerika ini yang ingin saya ceritakan, melainkan salah satu episode dari season 6 yang baru saja saya tonton, yaitu “Last Words”. Bercerita tentang Marshall yang ditinggal sang ayah untuk selamanya lalu berusaha mengingat “what were the last words of my dad to me?”.

photo by howimetyourmotherislove.tumblr.com

Saya yang biasanya tertawa melihat kelakuan absurd mereka, kali ini harus menitikkan air mata di salah satu adegan saat akhirnya Marshall berhasil menemukan kalimat terakhir yang indah dari sang ayah. 

Lalu saya merenung, apa kalimat terakhir dari ayah saya sebelum ia pergi?

Mencoba mengingat ke masa-masa Maret 2002 silam, saya hanya mampu memunculkan sebuah adegan di depan pintu pagar rumah pada sebuah Minggu pagi, dimana ayah saya akan pergi ke rumah sakit untuk yang kesekian kalinya ditemani ibu dan diantar sopir.

That was the last time I saw my dad. His last words to me? I totally have no idea...

Saturday, December 7, 2013

Perginya Sang Bidadari Kecil

photo by bigpictr.com

Hari ini saya terbangun dengan perasaan biasa-biasa saja. Masih melakukan rutinitas favorit di kala subuh yaitu menyegarkan mata dengan bermain The Sims sambil minum teh ditemani biskuit. Namun jika biasanya setelah itu saya akan menyalakan internet, pagi ini rasanya saya terlalu lelah untuk melakukannya dan memilih untuk kembali berbaring sambil menutupi badan dengan selimut. Tak lupa saya menyalakan radio untuk mendengarkan siaran lagu-lagu cinta di hari Sabtu. Ya, ini hari Sabtu, hari yang saya sukai. Tapi entah kenapa mata saya tidak sepakat untuk menikmatinya. Saya melirik papan jadwal sejenak, ada pernikahan yang harus dihadiri hari ini. Kita lihat nanti, entah jam berapa saya akan terbangun lalu baru memutuskan akan pergi atau tidak.

Jam 9 kurang saya terbangun oleh beberapa notifikasi yang masuk melalui pesan di handphone. Tidak ada yang penting. Saya kembali memejamkan mata setelah memasang timer sambil berjanji kepada diri sendiri untuk bangun 15 menit lagi.

Lalu saya pun melanggar janji dengan bangun menjelang pukul 10. Masih dengan perasaan bimbang apakah akan pergi ke resepsi atau tidak. Saya hanya duduk di samping tempat tidur sambil membalas pesan-pesan yang masuk. Lalu saat membuka twitter.. Saya membaca kabar dari Myra bahwa kakaknya sekaligus sahabat saya, Vebby, hari ini telah menjadi seorang ibu!

Saya sangat senang mendengar kabar gembira itu. Sekaligus iri tentu saja. Di awal tahun ini Vebby menemukan pendamping hidup, lalu di akhir tahun ia sudah dikarunai seorang anak. Lahir di tanggal cantik pula: 7 Desember! Ah, sempurna. Dan itu artinya ada dua orang yang sedang berbahagia di tanggal ini. Vebby dan juga senior saya yang tengah melangsungkan pernikahannya hari ini. Ngomong-ngomong resepsi, sepertinya saya memutuskan untuk tidak datang karena selain tidak ada teman dan kurang enak badan, tiba-tiba saja perasaan saya mendadak tidak enak. Entah kenapa.

Beberapa jam kemudian saya hanya berdiam diri di kamar tanpa melakukan aktivitas yang berarti. Sampai akhirnya saya mendengar kabar itu dari Senny.. Bayinya Vebby meninggal...

...

Rasanya shock dan langsung merinding saat membaca pesannya. Butuh waktu beberapa detik hingga akhirnya percaya bahwa apa yang saya lihat adalah nyata. Kemudian saya merenung. Beberapa jam lalu saya berpikir Vebby adalah orang yang sedang bahagia-bahagianya di dunia ini. Sekarang? 

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya saat ini. Karena yang saya bayangkan sebelumnya adalah: penantiannya selama 9 bulan telah terganti dengan kehadiran seorang bidadari kecil yang akan tumbuh secantik dirinya. Lalu saya akan melihat foto bayi mungil itu di profile picture-nya. Lalu mungkin saya bersama Senny dan Ratih akan pergi ke Lampung untuk menengok keponakan baru kami. Lalu Vebby, seperti halnya teman-teman lain yang baru saja menjadi ibu akan menikmati hari-hari barunya merawat si kecil. Lalu...

Sesuatu mengalir dari sudut mata saya. Satu-satunya yang ingin saya lakukan saat ini adalah memeluk Vebby erat-erat. Mengatakan padanya bahwa ini adalah jalan terbaik untuk bidadari kecilnya. Sambil turut mengikhlaskan kepergian keponakan saya yang hingga saat ini belum saya lihat bagaimana parasnya.

Dear Almeera Nur Azzahra,
Betapa Allah menyayangimu, Nak. Hingga seolah tak rela Ia melepasmu ke dunia.
Bahagia di surga kelak ya, Sayang.
Jangan khawatir, ibumu orang yang kuat yang pernah tante kenal.
Bagaimanapun kalian pernah bersenang-senang selama sembilan bulan lamanya bukan?
Insya Allah dia akan ikhlas merelakan bidadari kecil titipan-Nya diambil kembali.
Peluk, cium dan doa untukmu.

*Diam-diam saya teringat cerita dari blog Mita yang baru saja kemarin saya baca. Pertanda?*

Thursday, November 28, 2013

My Best Friend's (Pre) Wedding

Kembali dipercaya untuk membuat foto pre wedding. Kali ini tantangannya adalah: tanpa adanya wajah kedua calon mempelai di dalam frame. Hapah?!

Jadi ceritanya ketika saya membuat foto prewed Mada dan Kiki beberapa bulan lalu, sahabat saya pernah bilang, "nanti foto prewed gue juga sama lo aja ya". Padahal seingat saya waktu itu dia belum punya calon, atau kalaupun sudah (lupa!), calonnya saat itu bukanlah yang sekarang. Eaaa mengorek kisah lama :p

Dan ternyata yang namanya ucapan adalah doa itu benar adanya. Ketika akhirnya rencana pernikahan itu benar-benar tiba, tak lupa ia memasukkan foto prewed ke dalam salah satu printilan yang akan disiapkan. Namun berhubung sang calon ga mau prewed-prewedan, sahabat saya pun (sepertinya) mencari ide untuk membuat foto-foto pre wedding yang simple meskipun tanpa wajah mereka di dalamnya. Dan karena ia naksir foto sepatunya Mada dan Kiki, maka terpilihlah sepatu sebagai salah satu model dalam pemotretan. 

Maka di suatu Sabtu pagi yang cerah di Kebon Raya Bogor, kamipun melakukan pemotretan sepatu, cincin, dan barang-barang personal lainnya termasuk stetoskop. Sedikit bingung juga karena mereka ga bisa pasang pose sendiri jadi harus diatur terus --"









Here is the newlywed! Congratulations and best wishes to you both, Mr. Anindita and Mrs. Astra Swastika <3


Monday, November 18, 2013

Simply Hijab Tutorial

Akhirnya bikin hijab tutorial juga! Dibuat atas permintaan Chooy usai reuni SMA beberapa bulan lalu dan -yang paling memotivasi adalah- teror Uni Dian belakangan ini :))

Modalnya hanya kerudung Paris segi empat, 2 peniti kecil dan bros. Cara mengaplikasikannya pun mudah karena saya sendiri tidak bisa memakai yang ribet-ribet. Yang pasti dari basic style ini, bisa dibuat ke dalam beberapa style lainnya sesuka hati:

step 1

Berikut 2 model hijab yang biasa saya pakai. Mungkin bisa dibuat lagi beberapa model lainnya sesuai keinginan dan kreativitas masing-masing:

step 2

Selamat mencoba bagi yang berminat!

Wednesday, July 31, 2013

(Long) Road to Hijab

Awal Ramadhan lalu, saya sempat menyimak liputan profil seorang ustadz di salah satu televisi swasta. Wajahnya tampak familiar, hingga akhirnya tebakan saya benar, beliau adalah Harry Mukti. Melihat Harry Mukti, selalu otomatis mengingatkan saya pada hijab yang saya kenakan sekarang. Dialah sosok di balik melekatnya kain ini di tubuh saya, seseorang yang menjadi cikal bakal kesadaran saya tentang betapa pentingnya menutup aurat. 

Semua berawal dari peringatan Maulid Nabi (atau mungkin Isra Mi’raj) di SMP saat saya duduk di kelas 3. Dengan hebatnya, sekolah negeri yang berada di kampung Bojong Kiharib, Kabupaten Bogor, itu mendatangkan Ustadz Harry Mukti sebagai penceramah. Dan salah satu isi tausiyahnya yang paling menohok hadirin adalah: bahwa sehari saja seseorang tidak menutup aurat di depan orang yang bukan mahramnya, ia akan mendapat hukuman selama lima puluh ribu tahun di neraka! 

Seisi sekolah pun gentar. Keesokan harinyabeberapa guru dan murid perempuan langsung mengenakan seragam muslimMurid laki-lakipun tak mau kalah, mereka menggunakan kesempatan ini untuk memakai celana ukuran selutut a.k.a sontog -bahkan ada yang semata kaki-, dengan dalih menutup aurat, hingga berujung dengan hukuman dijemur di lapangan sekolah.

Sekolah pun akhirnya menerapkan peraturan agar setiap Jumat para murid mengenakan seragam muslim. Namun saya bersama kedua teman akrab di kelas, memutuskan bahwa kami akan memakainya setiap hari. Sampai akhirnya tibalah hari itu, hari dimana berjalan tidak semudah biasanya karena saya memang tidak biasa memakai rok panjang, apalagi model span yang terasa jingjet –if you know what I mean :))- seperti itu. Ya, saya mulai memakai kerudung, atau banyak yang menyebutnya dengan istilah jilbab (yang ini salah kaprah)*, dan sekarang lebih sering juga disebut hijab.

Selain di sekolah, saya juga mulai membiasakan diri memakai kerudung saat bepergian keluar rumah. Tapi tidak berlangsung lama. Seperti halnya shalat saya kala itu, hijab saya masih belang bentong. Kadang saya tidak memakainya saat keluar rumahkadang pulang sekolah bisa saya lepas lalu saya masukan tas, dan kadang pula di sekolah masih sering jambak-jambakan dengan teman hingga kerudung masing-masing pun berantakan.

Memasuki SMA, saya masih mengenakan seragam muslim karena merasa sudah terbiasa. Namun tidak ada perubahan yang berartihijab yang saya pakai masih sebatas seragam sekolah. Di luar itu, kadang pakai kadang tidak. Hingga akhirnya tibalah saat masuk kuliah, sayapun melepas hijab. Alasannya klasik: belum siap. Ditambah saat kuliah tidak ada istilah seragam, saya merasa tidak punya baju-baju yang mendukung untuk berhijab. Jangankan baju-baju panjang yang harganya cenderung lebih mahal, kantong mahasiswa saya terlalu tipis bahkan untuk membeli kaos hingga baju yang saya pakai itu-itu saja.

Tahun demi tahun berlalu. Rambut berwarna, jeans belel dengan robekan di lututdan kaos pendek yang kalau turun dari angkot harus dipegang bagian belakangnya, sudah menjadi bagian dari penampilan saya. Saya tidak pernah berpakaian seksi semacam rok mini atau hot pants. Satu-satunya pakaian ‘seksi’ yang pernah saya kenakan mungkin celana tidur tipis selutut dan atasan ketat dengan kerah lebar. Saya memakai setelan itu saat mencari makan siang di sekitar kostan, lalu saat sedang berjalan,tiba-tiba di belakang ada kakak kelas laki-laki saya berkata: hati-hati ya di neraka. Jleb!

Lama-lama saya melihat mulai banyak teman kampus yang memakai kerudung. Dan mereka masih bisa tampil menarik dengan hijabnya. Memang salah satu alasan perempuan enggan berhijab biasanya adalah: nanti ga bisa pakai baju ini, ga bisa pakai baju itu. Sama halnya dengan saya saat itu. Sampai akhirnya, alhamdulillah, pada Ramadhan tahun 2007 saya memutuskan untuk (kembali) menggunakan hijab. Anehnya, saat itu teman-teman di kampus banyak yang bertanya: pakai hijab selamanya atau cuma Ramadhan doang? Saya jawabselamanya lah. Bahkan saat itu saya baru tahu bahwa ada orang yang memakai hijab hanya pada Ramadhan saja.

Tapi rupanya kalimat tadi dijadikan setan untuk menggoda saya. Usai Lebaran, saat kembali ke kota Bandung, saya pergi dengan teman ke salah satu pusat perbelanjaan tanpa memakai kerudung. Saya pikir saya bisa menggunakan alasan ‘pakai hijab hanya bulan Ramadhan’ tadi sekaligus ingin melihat reaksi teman saya. Ia kaget dan seolah menyayangkan, sampai akhirnya saya merasa malu sendiri dan besoknya kembali berhijab.

Namun sampai di situ pun hijab saya masih belum sempurna, bahkan masih sangat jauuuh dari sempurna. Saya masih sering dasteran saat mencari makan keluar kostan, juga masih acuh tak acuh saat ada teman laki-laki yang melihat rambut saya. Pengertian aurat bagi saya saat itu masih sebatas rambut, hingga pakaian yang saya kenakan pun kadang masih berupa kerudung yang ujungnya dililit di leher, atasan ketat, juga legging sebagai bawahan.

Lalu Allah pun kembali menuntun saya. Beberapa bulan kemudian saya diterima job training di salah satu televisi muslim lokal Bandung, dimana baru beberapa hari kerja saya sudah ditegur karena cara berpakaian yang kurang sesuai (baca: tidak sopan)Lama-lama saya mulai membiasakan diri memakai rok -hasil berburu di pasar vintage a.k.a cimol- serta kerudung sedadaDi tempat ini juga, saya belajar bagaimana berpola pikir sebagai seorang muslim, yaitu memandang segala sesuatu dengan berdasarkan pada apa yang ada pada Al Qur’an dan Hadist. Ya, hidup saya banyak berubah di sini.

Tapi bukan manusia namanya kalau ia tidak terjerumus pada kesalahan, bahkan setelah ia disadarkan sekalipun. Begitupun saya. Proses berhijab saya masih terus berjalan. Bahkan setelah berhasil membiasakan diri menutup aurat di lingkungan kuliah dan kostan, sekembalinya ke Bogor selepas lulus saya belum bisa melakukan hal yang sama saat di rumah. Lalu kali ini jalan apa yang Ia tunjukan pada saya?

Kali ini, uhuk, saya dekat dengan seorang laki-laki yang… katakanlah baik agamanya. Bukan, saya bukan melakukan sesuatu (berhijab) semata-mata untuk dia. Mungkin lebih tepatnya adalah saat itu saya hanya berusaha memantaskan diri sehingga sedikit demi sedikit memperbaiki apa yang ada pada diri saya. Saya mulai membiasakan menutup aurat di lingkungan sekitar rumah, memakai kerudung saat pergi ke warung, sampai sering spontan sembunyi jika ada laki-laki yang bukan mahram masuk ke rumah. Yah begitulah, meskipun saat ini hubungan kami sudah berakhir, alhamdulillah tidak demikian halnya dengan kebiasaan saya.

Namun sayangnya saat memasuki dunia kerja penampilan saya di mataNya tidak lebih baik. Saya mulai lupa pada rok, tapi lebih dekat dengan celana jeans dan sesekali dengan legging yang pada akhirnya kembali memperlihatkan lekuk tubuhYa, lingkungan memang cukup (atau sangat?) berpengaruh terhadap apa yang kita lakukan. Maka beruntunglah saya yang tahun-tahun belakangan ini dipertemukan pada lingkungan social media bernama twitter yang akhirnya memperkenalkan saya pada akun-akun seperti @gadisberjilbabb, @HijabersComm, @pedulijilbab, @terranthijabist, dan masih banyak lagi. Dari merekalah akhirnya saya mendapat ilmu untuk senantiasa memakai hijab lebih baik lagi dan lagi.

Sekarang saya kembali mencoba menyatakan selamat tinggal pada legging, membiasakan mengulur kerudung hingga dada, menjauhi yang ketat-ketat, lebih berteman dekat dengan rok atau terusan, dan yang baru-baru ini saya lakukan yaitu memakai kaus kaki. Karena hijab bukan sebatas persoalan menutupi rambut, tapi bagaimana menutup aurat sesuai dengan ketentuan syariat. Dan hijab juga bukan sebatas ‘elo bakal masuk neraka kalo ga pake’, tapi lebih kepada menjalankan kewajiban yang jelas-jelas tertera pada Q.S. Al Ahzab: 59 dan An Nur: 31, serta wujud rasa cinta muslimah terhadap Pemiliknya yang pada akhirnya adalah untuk kebaikan dirinya sendiri.

Semoga saya, kita, bisa terus belajar agar bisa lebih baik dalam berhijab dan berusaha istiqomah dalam menjalankannya.

*Jilbab tidak sama dengan kerudung. Jilbab adalah pakaian longgar yang terjulur ke seluruh tubuh yang mana lebih dikenal dengan sebutan gamis.

Sunday, June 9, 2013

Hujan di Bulan Juni



Aku merapatkan bagian depan cardigan hitamku yang tak berkancing. Benar-benar kostum yang kurang tepat untuk dipakai di udara sedingin ini, bahkan kainnya pun tak cukup tebal untuk menghangatkan badan. 

“Dingin ga?” tanyamu. Pertanyaan bodoh.

Aku melirik ke arahmu sambil menggeleng dan mengulaskan senyum tipis. Jawaban yang tak kalah bodoh.

Diam-diam kau melepas jaket coklat itu. “Pakai nih,” katamu sambil menyampirkannya di bahuku.

“Makasih,” ujarku tersipu. Aku memakai jaket darimu sambil diam-diam menghirup wanginya. Masih sama seperti dulu. Aku senang, bukan karena badanku jadi hangat, tapi terlebih karena memakai benda milikmu.

Tak lama kau melingkarkan tangan kananmu di pundakku, sementara tangan kirimu sibuk naik turun sambil memegang benda putih dengan bara di ujungnya itu. Kau tahu aku tidak pernah suka melihatmu merokok. Tapi apa pedulimu dan apa pula hakku melarangmu?

Kabut tipis mulai turun. Dan kita masih menikmati pemandangan Puncak sore itu dari pelataran parkir sebuah restoran yang telah lama berdiri di sana. Aku duduk di kap mobilmu dan kau berdiri tanpa jarak secenti pun di sampingku. Kita tidak banyak bicara, sibuk dengan pikiran masing-masing. Ah, seandainya kau tahu kalau aku sangat bahagia saat sedang bersamamu.

Sampai akhirnya tetes-tetes air berbentuk gerimis pun turun. Kita berlari terhuyung-huyung masuk ke mobil.

Tumben sekali hujan turun. Padahal ini sudah bulan Juni…

*

“Bukannya Juni itu harusnya musim panas ya? Aku masih ingat pelajaran SD dulu yang bilang kalau musim hujan itu dari September sampai Maret, sedangkan musim panas dari Maret sampai September,” ujarku sambil mengunyah jagung bakar di kedai favorit kita. Sebuah kedai sederhana dengan pemandangan cantik kota Bogor nun jauh di bawahnya. Tidak kalah cantik dari pemandangan di tempat parkir tadi. 

Kau tersenyum seraya menghembuskan asap dari mulutmu. “Itu kan dulu, sekarang zamannya udah beda.”

“Iya juga sih...” Tapi tolong jangan bicara tentang pemanasan global atau semacamnya karena aku sedang tidak ingin mendengarnya.

“Atau mungkin hujan yang ini spesial buat kita…”

“Maksudnyaaa?” Aku mengerling sambil mencondongkan badan padamu yang sedari tadi duduk di samping kiri.

Kau tertawa pelan. Lalu mengacak-acak rambut di bagian atas kepalaku. Kau sudah tahu kelemahanku rupanya. Bahwa dengan gerakanmu barusan aku pasti langsung terdiam karena sibuk menenangkan hati yang tiba-tiba berdebar kencang.

“Spesial menyambut kedatangan kita setelah berbulan-bulan tidak pernah ke sini lagi?” ujarku berusaha terlihat tenang sambil menggenggam cangkir teh yang hangat di atas meja dengan kedua tangan. Mataku menatap lurus ke pemandangan di bawah sana. Masih sambil tersenyum. Rasanya aku benar-benar mengobral senyum tiap kali bersamamu.

“Bisa jadi,” katamu. Sepertinya ada yang aneh. Kau tidak banyak bicara hari ini. Biasanya kau selalu mengoceh panjang lebar tentang apapun yang ada di pikiranmu mulai dari pekerjaan, teman-teman, jalanan rusak, koruptor, sampai pemanasan global yang sempat kukhawatirkan tadi.

“Kamu kenapa? Dari tadi diam saja,” aku meminum tehku perlahan.

“Ga apa-apa,” ujarmu tertawa lagi sambil memencet hidungku. Nah kan, sekarang hidungku bau rokok, dan mungkin juga nanti akan tumbuh jerawat karenanya. Tapi tetap saja aku tak akan pernah bisa marah meskipun aku tak menyukainya.

“Oh iya! Kemarin waktu kamu SMS katanya ada yang mau disampaikan. Apa?”

“Mmm… Nanti saja.”

“Sekarang.”

“Nantiii…” Lagi-lagi kamu tertawa. Kali ini sambil menarik kepalaku dan membenamkannya di dadamu. Aku menyerah.

*

Pertemuan kita selalu sesederhana itu. Selalu Puncak. Atau selalu berujung di Puncak setelah kemanapun kita pergi sebelumnya. Dan aku menyukainya, karenanya aku tak pernah protes bahkan saat kau membelokkan mobilmu ke arah sana tanpa bertanya padaku terlebih dahulu. Bagiku itu jauh lebih baik dibanding kita saling berkata ‘terserah’ saat harus menentukan tujuan.

Ya, mungkin Puncak adalah salah satu hal yang sama-sama kita sukai selain bakso. Selebihnya selera kita lebih banyak berbeda, mulai dari film, musik, sampai bahan obrolan. Kau tahu? Mengobrol denganmu kadang membuatku jenuh. Tapi aku juga tak suka kalau harus diam terus menerus seperti sekarang ini.

“Hei! Kok bengong?” Kau mengibas-ngibaskan tangan kirimu di depan wajahku, sementara tangan kananmu sibuk memegang setir.

“Ga apa-apa,” Aku membalas jawabanmu saat di kedai tadi. Kau hanya tersenyum mendengarnya.

Lalu aku kembali terdiam. Mengingat semua hal yang telah kita lewati selama bertahun-tahun. Kita bertemu saat aku kelas 3 SMP dan kau kelas 2 SMA. Lalu kita pacaran satu bulan lamanya sampai akhirnya suatu hari aku memergokimu di warung mie ayam sedang bersama beberapa teman perempuanmu. Entah cemburu atau bukan, yang pasti setelah itu aku tidak mau lagi menemuimu. Lalu berbulan-bulan kemudian kau menelepon untuk memutuskanku dengan alasan sepupumu menyukaiku. Aku menerima keputusanmu. Tapi saat kau tanya ‘apakah kamu menyukai sepupuku’ dan aku jawab ‘tidak’, kau lantas menarik kembali keputusanmu. Yang benar saja. Dasar bodoh.

“Ih, senyum-senyum sendiri!” Suaramu membuyarkan lamunanku. “Ada apa sih? Bagi-bagi dong.”

“Ngga. Cuma sedang menertawakan kebodohan kita jaman dulu aja.”

“Yang mana? Waktu kamu jadian sama sepupuku?”

“Hih! Kamu tuh sama si Pirang.”

Aku memang sangat sebal saat setelah sekian lama tak bertemu usai kita putus itu, aku mendengarmu pacaran dengan adik kelasku yang berambut kepirang-pirangan itu. Bahkan menyebut namanya pun aku tak sudi. Itulah sebabnya aku enggan menerima ajakanmu untuk balikan lagi setelah kau putus dengannya dan malah memilih memacari sepupumu. Kau boleh menyebutku balas dendam, seandainya kau tahu memang itulah alasannya.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu dan menagihnya padamu. “Katanya ada yang mau dibicarakan?”

“Nanti saja,” katamu tenang sambil memandang lurus ke depan, lalu menoleh dan tersenyum padaku. Kembali mengacak-ngacak rambutku.

“Kapan? Ini kita udah di jalan pulang, loh.”

Kau menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Seolah ada beban berat yang harus dikeluarkan. “Sebenarnya ga ada apa-apa. Itu cuma alasanku biar bisa ketemu kamu.”

“Gombal.” Aku kembali terdiam karena sibuk menenangkan kupu-kupu yang berterbangan di perutku.

Kau tahu tidak perlu mencari alasan seperti itu untuk bertemu denganku. Katakan saja kau rindu dan itu sudah lebih dari cukup. Seperti yang selama ini kita rasakan. Meskipun jarak kita sempat terpisah ratusan kilometer saat kuliah, atau status kita sempat menjadi pacar orang selama bertahun-tahun, nyatanya rasa itu selalu ada dan membawa kita pada pertemuan-pertemuan semacam ini. Dan jika beberapa bulan lalu aku sempat beralasan ini itu saat kau mengajak bertemu, sumpah mati bukannya aku tidak mau! Aku hanya… Hanya ingin memastikan lagi rasa ini. Benarkah rasa ini memang untukmu? Benarkah kau orangnya? Karena bertahun-tahun setelah cinta monyet kilat itu, tidak pernah terjadi sesuatu yang serius lagi diantara kita. Kau pasti mengerti maksudku. 

Aku juga tahu, beberapa kali kau menunjukkan maksud untuk menjalin hubungan lagi, dan beberapa kali itu pula aku berpura-pura tidak mengerti maksudmu hingga hal itupun berlalu. Lalu disaat aku yang menginginkannya, kau sendiri pun malahan acuh tak acuh. Mungkin kita memang tak berjodoh, atau mungkin aku yang terlalu banyak menimbang-nimbang. Karena sejujurnya, kadang aku merasa tak nyaman saat berada di dekatmu, aku bosan mendengar ocehanmu yang itu-itu saja, aku tak mengerti mengapa kau mengajakku menonton film horror yang sebenarnya tak kusukai, aku tak suka membaca SMS-mu yang selalu typo, aku… Baiklah aku sadar sekarang, semua itu hanya alasan yang dibuat-dibuat saja. Bagaimanapun, berada di dekatmu selalu membuatku senang. Dan aku sadar sekarang bahwa selama ini kaulah orang yang aku butuhkan. Kali ini aku yakin.

“Lagunya Sheila On 7 tuh. Masih suka ngga?” Terdengar lagu Hujan Turun. Kau membesarkan sedikit volume radio mobilmu.

Aku mengangguk senang. Senang karena kau masih ingat band kesukaanku. Aku juga masih ingat band kesukaanmu dulu. Kau suka Slank kan? Aku ingat betul dulu pernah memintamu menuliskan lirik Terlalu Manis. Dan kau menuliskannya dalam secarik kertas surat wangi yang sayangnya sudah kubakar saat kita putus. Dramatis sekali bukan?

Tak lama kemudian kau menghentikan mobilmu tepat di depan rumahku. Hari sudah larut malam dan hujan belum juga reda. Ah, ini bagian yang paling aku tidak suka, berpisah denganmu. Tapi bukankah seharusnya aku tidak sedih karena biasanya kau akan memeluk lalu mengecup keningku? Lalu kenapa kali ini kau memandangku dengan tatapan seperti itu? 

“Makasih ya,” Aku membuka suara.Tersenyum semanis mungkin.

“Aku yang makasih karena kamu udah mau nemenin aku jalan-jalan,” katamu pelan. Masih dengan tatapan tadi. Tatapan yang membuat perasaanku tidak enak.

“Dengan senang hati. Kapanpun kamu mau, kita bisa main lagi.”

Kamu menggeleng pelan. “Sepertinya ngga mungkin.”

“Kenapa?” Aku menatapmu heran. Kau tidak menjawab, tapi malah mencondongkan badanmu ke kursi belakang seperti hendak mengambil sesuatu.

“Maafin aku...” Kau meletakkan sesuatu di pangkuanku. Sesuatu yang terbungkus amplop tebal dengan wanginya yang khas. Ada salah satu inisial namamu di ujung kiri atasnya.

Hujan di bulan Juni ini semakin deras. Bahkan meskipun aku belum turun dari mobilmu, amplop itu telah basah.

Tuesday, May 7, 2013

Ketika Dua Enam Tiba

Tanpa direncanakan, 26 April lalu saya menonton Sheila On 7 di acara Sinofest UI. Anggap saja hadiah untuk diri sendiri, begitu pikir saya :)



Bulan purnama yang bersinar malam itu, lagu-lagu yang dinyanyikan Duta, dan kembang api yang berterbangan sesudahnya, semuanya saya anggap khusus untuk saya :3





Malam yang istimewa. Sampai akhirnya sesuatu yang tak kalah istimewa menyusul beberapa hari kemudian :">

Monday, May 6, 2013

GALAXY S4, Teman Hidup yang Pengertian

Samsung GALAXY S4 - Life Companion
Saya bukan penggemar ponsel berbasis Android. Maka dari itu saya juga tidak pernah menaruh perhatian pada smartphones keluaran Samsung sebelumnya, padahal beberapa teman pernah mengatakan bahwa ponsel-ponsel tersebut recommended. Hmmm jangan-jangan gara-gara selama ini saya belum pernah bersentuhan langsung dan melihat lebih dekat teknologi yang ditawarkan seperti apa. Karena begitu Kamis, 2 Mei lalu berkenalan dengan Samsung GALAXY S4 dalam acara peluncurannya, saya langsung dibuat jatuh cinta!

Samsung GALAXY S4 dengan Sistem Operasi Android 4.2.2 (Jelly Bean) ini hadir dengan inovasinya yang mencengangkan. Beberapa kali saya dibuat takjub saat mencoba beberapa fitur andalannya yang tersedia di venue. Salah satu fitur yang langsung menarik perhatian saya, dan mungkin juga banyak orang lainnya, adalah Eraser. Fitur yang terdapat pada kamera ini memungkinkan kita untuk menghapus objek tak diinginkan yang terkadang muncul pada saat pengambilan gambar. Jadi kalau sedang berfoto lalu ada orang melintas di belakang, bisa langsung dilenyapkan dengan EraserMejik!
Eraser
Fitur lain pada kamera yang tak kalah menarik adalah Dual Shot. Dengan Dual Shot ini, kedua kamera yang terdapat di depan (2 Megapixels) dan belakang (13 Megapixels!) bisa digunakan secara bersamaan dalam sekali pengambilan gambar. Jadi kalau kebagian peran sebagai tukang foto, nggak usah khawatir karena wajah kitapun bisa ikut ada dalam gambarPosisi frame-nya bisa ditukar pula. Asyik, ya!
Dual Shot
Masih tentang kecanggihan kameranya, ada Sound & Shot yang bisa membuat foto kita 'berbicara' karena turut merekam suara saat gambar sedang diambil. Juga ada Drama Shot yang bisa mengambil beberapa gerakan sekaligus dalam satu shot dan mengkolasekannya dalam satu frame hingga menjadi sebuah gambar yang dinamis. Duh :')
Drama Shot
Dan foto-foto keren tersebut bisa diatur ke dalam  Story Album dengan berbagai pilihan tema dan layout, juga bisa di-share melalui fitur Group Play. Dengan fitur canggih yang menghubungkan beberapa Samsung GALAXY S4 secara wireless ini, kita juga bisa bermain game dan menikmati musik secara bersama-sama hingga menghasilkan multispeakers dengan suara yang dahsyat.
Group Play
Inovasi lain yang membuat ponsel dengan layar Full HD Super AMOLED berukuran 5 inci ini makin keren adalah sembilan sensor dan susunan teknologi pengenal yang tersebar luas yang dimilikinya. Dengan perangkat yang bisa mendeteksi wajah, suara dan gerakan tersebut, kita semakin dimudahkan untuk memainkan layar tanpa perlu menyentuhnya. Air View misalnya, fitur yang didukung teknologi Finger Hovering ini memungkinkan kita untuk mem-preview konten seperti email, foto atau video, cukup dengan melayangkan jari hingga nyaris menyentuh layar. Air Gesture lebih wah lagi, karena kita dapat menerima panggilan, mengubah track musik, atau menggeser halaman web dengan mudah hanya dengan sekali kibas!
Air Gesture
Tidak sampai disitu, teknologi face recognition juga turut melengkapi ponsel pintar ini dalam fitur Samsung Smart Pause. Jika kita sedang menonton video lantas melirik ke arah lain, video akan otomatis terhenti dan berlanjut saat wajah kita kembali menghadap layar. Amazing! Belum lagi sensor gyro yang turut mendukung fitur Samsung Smart Scroll sehingga kita bisa dengan mudah menggulirkan layar ke atas/bawah hanya dengan memiringkan wajah atau menggerakkan ponsel.
Samsung Smart Pause
Selain wajah, ponsel pintar tipis berdimensi 136.6 x 69.8 x 7.9 mm dan berat 130 g ini juga dapat mengenali suara melalui teknologi voice recognition yang ada dalam fitur S Translator. Buat yang sering jalan-jalan ke luar negeri dan mengalami kendala bahasa, fitur ini bisa sangat membantu. Tinggal katakan atau ketik kalimat yang perlu diterjemahkan, maka ponsel pintar ini akan kembali mengatakan atau mengetik terjemahannya. Cocok buat yang hobi travelling!
S Translator
Kemudahan lain yang diberikan Samsung GALAXY S4 ada pada S Health. Fitur yang satu ini membantu meningkatkan kualitas pola hidup dengan memantau aktivitas olahraga yang kita lakukan, asupan sehari-hari dan -uhuk- berat badan. Ada akselometer juga yang dapat digunakan sebagai Walking Mate untuk menghitung jumlah langkah dan kalori yang terbakar, loh.
S Health
Pada akhirnya, kitapun bisa menikmati hiburan yang diberikan Samsung Galaxy S4 melalui fitur Samsung WatchON yang menjadikannya sebagai ahli TV. Jadwal program, eksplorasi channel, remote control hingga set top box, semuanya bisa dilakukan oleh si pintar ini dan kita tinggal duduk santai menikmatinya.
Samsung WatchON
Dan semua kecanggihan tersebut masih dilengkapi pula dengan sensor RGB pada fitur Samsung Adapt Display yang dapat mengurangi risiko kelelahan mata karena secara otomatis mengoptimalkan tingkat kecerahan dan ketajaman pada layar. Bahkan volume audio kiri dan kanan pun dapat disesuaikan berdasarkan pendengaran, sumber suara dan preferensi dengan bantuan Samsung Adapt Sound.

Pertanyaan saya adalah, dengan kemampuan secanggih ini, kira-kira baterainya boros nggak ya? Ternyata hal tersebut pun sudah dipikirkan oleh Samsung yang melengkapi GALAXY S4 ini dengan Micro Controller Unit (MCU). MCU akan mengaktifkan Application Processor (AP) hanya ketika dibutuhkan atau bahkan mengontrol sensor tanpa mengaktifkannya. Jadi urusan konsumsi daya baterai 2600 mAh-nya dijamin awet dan tahan lama.

Singkat kata, Samsung GALAXY S4 adalah paket smartphone yang mengerti kebutuhan kita. Semuanya terasa mudah dan berada dalam jangkauan dengan bantuan ponsel pintar ini. Butuh teman hidup yang pengertian? Siapkan dana kira-kira Rp. 7.499.000,- lalu pilih: mau Black Mist atau White Frost?

Image source: samsung.com, flickr.com