Friday, February 1, 2013

Solo, Kota yang Penuh Kejutan


Entah kenapa, saat merencanakan liburan akhir tahun ke Jogja beberapa bulan lalu, Solo terpilih sebagai kota lain yang akan saya dan Rika, Mita, Welly kunjungi. Mungkin karena kota ini yang memang jadi terkenal gara-gara Jokowi, atau lebih tepatnya karena Solo adalah tetangga terdekat Jogja yang paling menarik dibanding daerah lainnya. Setidaknya bagi kami.

Maka dengan segala ketidaktahuan kami tentang Solo, berangkatlah kami dari stasiun Tanah Abang menggunakan kereta ekonomi Bengawan seharga Rp 37000 pada Jumat, 28 Desember 2012 lalu pukul 19.40. 

And the journey begins...

Setelah kepanasan lantas kedinginan dalam menempuh perjalanan malam di kereta, kami tiba di Solo Jebres pukul 06.47 sesuai jadwal. Tidak ingin pusing-pusing, perjalanan di Solo yang hanya dijadwalkan satu hari setengah itu pun kami serahkan pada artikel 24 Jam Menakjubkan di Solo mahakarya detikTravel. Itu artinya, tempat-tempat yang akan kami kunjungi di Solo antara lain:

1. Gelora Manahan
Jika dilihat di peta, jarak dari stasiun yang berada di Jl. Ledoksari ke stadion di Jl. Adi Sucipto itu cukup jauh. Karena yang berkeliaran di depan Solo Jebres adalah taksi tanpa argo yang menembakkan tarif Rp 25000, kami memutuskan untuk menaiki bus Atmo seharga Rp 2500 dengan syarat harus jalan kaki puluhan hingga ratusan meter sebelum dan sesudah turun dari bus. Sempat ‘disasarkan’ seorang bapak tua di sepeda yang petunjuknya melenceng jauh dan bahkan berkata kiri sambil tangan menunjuk ke kanan, kami pun tiba di Gelora Manahan setelah sebelumnya berjalan di area hijau jalur lambat yang suasananya serasa di Eropah. Yay! Agak bingung juga begitu berada di dalam stadion, karena ternyata di sana tidak ada makanan berat untuk mengganjal perut kami yang sudah sangat kelaparan. Maka pilihan pun jatuh kepada Nasi Bandeng yang bentuknya seimut harganya, Rp 1500 saja. Inilah petualangan kami pada pagi pertama di kota Solo.

2. Hotel Wigati
Lepas dari stadion, kami langsung menuju hotel hasil per-googling-an selama ini yang banyak direkomendasikan para backpackers di dunia maya yaitu Wigati. Dan ternyata kami tidak salah pilih karena penginapan yang berada di pinggiran jalan utama Solo, yaitu Slamet Riyadi, ini memang menawarkan tempat yang cukup nyaman dengan harga terjangkau. Sayang sekali saya lupa memotret daftar harga yang ada di meja resepsionis dan suasana kamar yang kami tempati. Yang pasti hotel ini memasang tarif paling murah mulai dari Rp 30000 untuk kamar tipe Ekonomi 4 sampai Rp 110000 untuk kamar VIP 1. High season? Ngga ngaruh! Karena kamar VIP 2 (dilengkapi AC dan TV) yang kami tempati kemarin harganya tetap Rp 95000 dengan extra person 15000/orang. Kalau mau menginap di sini, berikut alamat dan nomor teleponnya: Jl. Banda 2, Keprabon, Banjarsari, Solo – (0271) 637341.

3. Kraton Surakarta Hadiningrat
Setelah membersihkan diri dan menaruh barang bawaan di hotel, kamipun bersiap menuju Istana Mangkunegaran. Kali ini taksi (dengan argo tentunya) kembali menjadi pilihan kami seperti saat perjalanan dari stadion ke hotel sebelumnya. Psst, kalau orangnya banyakan, memang lebih baik naik taksi ketimbang becak karena jatuhnya lebih murah. Walaupun harus membayar minimal Rp 15000, tapi argonya sendiri ngga pernah lebih dari itu, jadi lumayan banget kan kalau naiknya berempat ;). Nah di tengah jalan, si bapak sopir yang tahu tujuan awal kami, langsung menyarankan agar lebih baik mengunjungi Kraton Surakarta Hadiningrat a.k.a Kraton Kasunanan Surakarta karena katanya di sana lebih ramai dan sedang ada perayaan Sekatenan pula. Terbujuk oleh rayuan sopir, kamipun mengiyakan dan ternyata wow!, saking ramainya jalan ke arah Kraton sampai macet!
Kraton Kasunanan yang terletak di Jl. Mangkubumen Sasono Mulyo ini buka setiap hari kecuali Jumat dari pukul 8.30-14.00, sedangkan khusus Minggu hanya sampai pukul 13.00. Dengan tiket seharga Rp 4000, kita sudah bisa memasuki Kraton yang didominasi warna putih-biru dengan campuran nuansa Eropa ini. Menelusuri ruangan demi ruangan museum di Kraton Kasunanan, kesan pertama yang tertangkap adalah pengap. Jika dibandingkan dengan Kraton Jogja, museum di sini tampak kurang terawat dengan debu yang menempel di sana sini. Tapi walau bagaimanapun, benda-benda peninggalan sejarahnya tidak kalah menarik. Dan yang tidak akan kami lupakan adalah: dua buah kereta kencana putih bergaya Eropa yang dipajang di luar ruangan. Ada apa dengan kereta-kereta ini? Jadi ketika sedang asyik-asyiknya berpose sambil sesekali memegang bagian dari kereta tersebut, lewatlah seorang guide sambil berkata kepada rombongan kecilnya, "sebenarnya kereta-kereta ini tidak boleh disentuh apalagi diambil gambarnya, yaaa mudah-mudahan saja tidak ada sesuatu yang terjadi bagi yang sudah terlanjur melakukannya," ungkapnya kalem. Jleb! Saya dan teman-teman langsung memandang satu sama lain sambil melipir perlahan. Sejak saat itu, kereta tersebut selalu jadi kambing hitam jika ada kesialan yang menimpa kami Solo. Dan sayapun (jadi) tidak berani mengunggah fotonya, hihi.
Penelusuran area Kraton kami akhiri dengan jalan-jalan cantik bertelanjang kaki ditemani angin sepoi-sepoi di halamannya yang dipenuhi dengan pohon-pohon tinggi beralaskan pasir. Konon pasir tersebut dibawa jauh dari Pantai Selatan. Tapi hati-hati ya kalau sedang berjalan-jalan di area ini, karena masih ada saja orang yang hobi meludah sembarangan, kalau terinjak kan jijik --".


4. Alun-Alun Selatan
Puas jalan-jalan di Kraton, kami langsung menuju Alun-Alun Selatan untuk makan siang. Karena jaraknya tidak terlalu dekat untuk berjalan kaki di tengah siang bolong, kami memutuskan untuk naik becak dengan mencari yang mau dibayar mureee. Tapi yang namanya abang becak, masih saja ada yang suka bilang "kalau dekat, jalan kaki aja" tiap ditawar :(. Beruntung masih ada yang baik hati dan tidak sombong dan mau mengantar kami ke alun-alun dengan ongkos Rp 7000 saja :).
Saat becak memasuki kawasan Alun-Alun Selatan, saya mulai bingung karena ternyata tempatnya sepi sekali. Dan penjual makanan yang ada hanyalah bakso-bakso bakar yang berjejer hampir di setiap meter pinggiran lapangan. Abang becaknya pun mungkin bingung mau diantar kemana sebenarnya gadis-gadis ini karena kami sama sekali tidak bilang "stop", "di sini pak" atau apapun. Alhasil ia pun menurunkan kami tepat di samping kandang kerbau. Mungkin ia pikir kami ingin melihat kerbau-kerbau yang konon masih kepunyaan kraton itu...
Gerobak bakso bakar yang mangkal di bawah pohon rindang pun jadi pilihan kami. Empat tusuk bakso bakar berbeda rasa (yang pada saat dimakan semua rasanya sama saja) seharga Rp 1000/tusuk masing-masing kami habiskan siang itu. Hingga tiba giliran ingin difoto, kamipun minta tolong pada mas-mas yang juga sedang lesehan bersama teman prianya di tikar sebelah. Sedikit ngga enak hati karena mas-mas ini tampak agak sangar dan malas saat kami mintai tolong. Tapi ketika saatnya di foto, dia minta mengulang seraya berkata "yang cute dong," ujarnya protes melihat wajah kami yang mungkin tidak terlihat kiyut di matanya. Hadeh si mas bisa aja, mas sudah mas...

5. Pasar Klewer, Alun-Alun Utara dan Masjid Agung
Rasanya tidak salah kami menerima tawaran sopir taksi tadi untuk pergi ke Kraton Kasunanan, karena area ini bisa dibilang merupakan paket komplit untuk sebuah objek wisata. Selesai dari Alun-Alun Selatan, kami langsung mengarah ke Pasar Klewer, masih dengan becak Rp 7000 tentu saja, karena kalau jalan lumayan jauh hehee. Kata orang-orang, Pasar Klewer ini salah satu pusat belanja batik di Solo yang wajib dikunjungi. Tapi kok ya saya lebih suka belanja di Beringharjo-nya Jogja daripada di sini. Mungkin karena jarak dari satu toko ke toko lainnya sempit sekali, ditambah lagi terkadang kalau ingin dapat murah harus beli minimal tiga agar dikasih harga grosir, dan semakin ke dalam baju-baju yang dijual bukan hanya batik, tapi baju-baju biasa yang banyak dijumpai di tempat perbelanjaan lain. Hmmm...
Sayapun keluar dari Pasar Klewer dengan tangan kosong, mencari kesegaran dari es dawet sambil menikmati suasana kemeriahan pasar raya Sekaten di Alun-Alun Utara, lalu menuju Masjid Agung untuk shalat Zuhur sambil beristirahat menanti Ashar. Hari-yang-mulai-terasa-melelahkan.

6. Galabo
Begitu keluar dari area Kraton Kasunanan dan sekitarnya, ternyata tempat selanjutnya yang akan kami kunjungi pun sudah di depan mata. Gladag Langen Bogan alias Galabo yang katanya merupakan wisata kuliner Solo melambai-lambai ke arah kami dari Jl. Mayor Sunaryo. Sayangnya sore itu kedai-kedai makanan yang berjejer di sana masih tutup karena mereka memang buka pada malam hari. Jadilah kami hanya menikmati Lekker Crispy rasa coklat pisang yang mangkal di depan tempat perbelanjaan Pusat Grosir Solo.
Ketika berdiri di seputaran Galabo ini, kami sempat melihat bus tingkat berwarna merah melintas dengan megahnya. Itu dia Werkudara yang ingin kami naiki! Bus dengan tarif Rp 20000 yang bisa membawa kita keliling kota Solo dan berhenti di objek-objek wisata tertentu. Tapi sayang sungguh sayang, setelah menghubungi nomor kontaknya di 085642005156, ternyata tiket untuk bus tersebut harus dipesan minimal satu hari sebelumnya, dan selama libur tahun baru kemarin penjualannya sudah sold out hingga tanggal 2 Januari. Hiks!

7. Nasi Liwet Wongso Lemu
Menjelang maghrib, Solo pun diguyur hujan. Saat yang tepat untuk menikmati Nasi Liwet Wongso Lemu yang kabarnya memang baru buka pada pukul 17.00. Dengan taksi yang diperolehnya susah minta ampun, kami meluncur ke Jl. Teuku Umar yang ternyata tidak terlalu jauh dari Galabo (tapi tetap saja jauh dan basah kalau jalan kaki) dan juga semakin mendekat ke arah penginapan kami. Bahkan angka argonya pun masih menunjukkan angka Rp 4000-an. Belum habis rasa kaget kami, deretan kedai nasi liwet di pinggir jalan kembali membuat bingung. Yang recommended yang mana ya? Semua kedai mengaku ASLI. Saya pun refleks googling. Tapi apa kata bapak sopir saat kami minta meminggirkan mobilnya sejenak? “Ini yang betul mau ke mana? Kalau ngga saya mau cari penumpang lain,” ujarnya dengan nada kurang sopan. Pfft! Kalau ngga hujan rasanya ingin turun saat itu juga. Akhirnya kami terpaksa meminta beliau memutar (karena jalan tersebut satu arah) dan kembali ke deretan kedai yang pertama lalu memilih seadanya.
Kedai yang kami masuki kalau tidak salah bernama 99, sepertinya tidak salah pilih karena di salah satu dindingnya banyak foto artis yang pernah berkunjung ke sana *lah*. Nasi Liwet Wongso Lemu ternyata sama sekali tidak seperti liwet yang biasa saya makan. Mungkin memang seperti ini ya nasi liwet di tanah Jawa? Tampak seperti nasi biasa dengan tambahan lauk tahu, tempe, telur, ayam dan lain-lain. Tapi buat lidah saya sih ngga masalah, yang bikin geli adalah -layaknya kebiasaan di sana- si mbaknya mengambilkan lauk langsung dengan tangan kosong. O iya, salah satu yang bikin maknyus nasi liwet ini adalah sambalnya yang berupa butiran cabe rawit rebus yang ditaruh dalam mangkuk kecil di tiap meja. Slurp! Harga nasi liwet ini berada di kisaran Rp 20000an, itupun dengan tambahan ayam yang sepertinya memang ayam kampung. Dan ini adalah makanan terberat kami di hari itu, walaupun bagi kami tetap saja porsinya sedikit, hihi.

8. Taman Sriwedari
Selepas Isya, kami masih tak henti-hentinya membicarakan rasa sakit hati pada sopir taksi tadi dan cerita-cerita tak mengenakkan lainnya di Solo. Mulai timbul pemikiran bahwa sepertinya cukup sekali saja kami datang ke kota ini, bahkan Mita telah menghapus Solo dari daftar tempat untuk berbulan madu. Untuk menghibur diri, kamipun berencana pergi ke mall-nya Solo setelah berkunjung sebentar ke Taman Sriwedari. “Di Sriwedari cuma nonton Wayang Orang doang kan? Ga usah lama-lama lah kita juga ngga akan ngerti bahasanya,” begitu kata Welly dan kamipun mengiyakan. Maka meluncurlah kami ke Taman Sriwedari di Jl. Slamet Riyadi menjelang pukul 08.00 malam. Letaknya tidak terlalu jauh dari penginapan, jadi saya dan Welly memutuskan untuk berjalan di city walk sementara Mita dan Rika naik becak. Sesampainya di sana, ternyata tidak sesepi yang orang-orang bicarakan. Malahan kami sampai harus naik ke balkon di lantai dua karena kursi di lantai satu sudah banyak terisi. Setelah mengambil tempat yang lumayan nyaman, kamipun mulai menikmati pertunjukan yang tiketnya seharga Rp 3000 saja itu.
Layar panggung dibuka. Sekelompok pemain berpakaian adat kerajaan mulai beraksi dengan bahasa yang sama sekali tidak kami mengerti. Big screen di sebelah kiri panggung pun hanya menceritakan garis besar cerita tiap babak, bukan subtitle seperti yang saya harapkan *yakali*. Jadi malam itu, kisah yang dimainkan adalah tentang perjuangan seorang pangeran kerajaan bernama Permadi untuk bisa menikahi putri dari kerajaan lain. Kalau diperhatikan, yang jadi Permadi cakep juga, bening, begitu pikir saya dalam hati. Dan ternyata, tanpa saya ketahui, itu juga yang ada di pikiran teman-teman saya hingga akhirnya kami terjebak menonton pertunjukan itu sampai selesai pukul 23.00. Lupa sudah niat kami untuk pergi ke mall. Bahkan saya yang sempat tertidur beberapa kali pun tetap enggan untuk beranjak dari sana. Lalu kami menyimpulkan bahwa ini pasti sihir dari Permadi :)). Hingga akhirnya iapun sukses menjadi alasan jika kami kembali lagi ke Solo suatu hari nanti karena kami tidak sempat berfoto dengannya malam itu. Ah, Solo memang penuh kejutan...

9. Gudeg Ceker Bu Kasno
Pulang dari Taman Sriwedari kami sengaja langsung beristirahat karena akan bangun kembali pukul 02.00 untuuuk: Gudeg Ceker Bu Kasno! Yak, dini hari itu kami meluncur ke Jl. Wolter Monginsidi kawasan Margoyudan dalam rangka wisata kuliner. Sesampainya di sana, wow ramai sekaliii! Tidak hanya warung tendanya yang penuh tapi juga lesehan yang ada di pinggiran jalan sekitarnya. Beruntung kami masih mendapat tempat di dalam tenda berupa bangku-bangku panjang yang berjejer  ke depan layaknya kursi di ruang tunggu, tanpa meja. Tidak heran kalau tempat ini sangat banyak peminatnya hingga harus mengantre karena Gudeg Ceker-nya memang enak, sodara-sodara! Sejauh ini, inilah makanan di Solo paling uenak yang kami rasakan. Malam itu kami makan seporsi gudeg ceker yang harganya tidak sampai Rp 20000.

10. Istana Mangkunegaran
Masih penasaran dengan Istana Mangkunegaran, pagi harinya kami pun memutuskan untuk pergi ke sana. Dan ternyata letaknya tidak jauh juga dari tempat kemarin kami makan nasi liwet, yaitu di Jl. Ronggowarsito. Istana alias Puro Mangkunegaran buka setiap hari kecuali Jumat dari pukul 09.00-14.00, sedangkan Minggu hanya sampai pukul 13.00. Dari depan, istana ini tampak sepi dan gersang. Kamipun masuk setelah membeli tiket Rp 10000 dan dipandu oleh seorang guide bernama mas Dodi. Kata bapak penjual tiket, mas Dodi ini nanti boleh dibayar berapa saja seikhlasnya, okesip!
Selain bisa minta tolong mengambilkan foto *halah*, enaknya pakai guide kita jadi tahu lebih detail mengenai sejarah istana dan semua benda peninggalan yang ada di dalamnya (dan dipastikan insiden semacam kereta kencana pun tidak akan terjadi :p), termasuk tentang Paundrakarna yang ternyata adalah bagian dari keluarga istana ini, hihi. Istana Mangkunegaran memang terasa lebih nyaman dibanding Kraton Kasunanan, pantas saja ada yang bilang kalau orang-orang pun lebih memfavoritkan tempat ini.

11. Srabi Notosuman
Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Srabi Notosuman. Kata bapak sopir taksi yang mengantar ke Kraton Kasunanan kemarin, kalau mau beli oleh-oleh ya srabi saja. Hah? Srabi kok buat oleh-oleh sih, pikir saya sambil membayangkan Surabi Enhai yang biasa saya makan di tempatnya langsung saat di Bandung. Dan begitu kami tiba di toko Srabi Notosuman – Ny. Handayani di Jl. Moch. Yamin, barulah saya mengerti kalau srabi yang ini memang berbeda. Ada dua rasa yaitu biasa (Rp 1800) dan coklat (Rp 2000), bisa pesan satuan ataupun perdus. Kamipun membeli satu dus berisi 10 srabi campur seharga Rp 19000. Tidak berminat membeli untuk oleh-oleh karena srabi ini sudah pasti tidak tahan lama. Dan ternyata untuk membeli satu dus pun kami harus mengantre dengan banyak pembeli lain, beruntung bisa ditinggal sehingga kami bisa mengisi perut dulu sambil menunggu pesanan jadi kira-kira setengah jam kemudian. Begitu dicoba, nyammm! Enak! Perpaduan rasa gurih, manis (untuk yang rasa coklat), dan teksturnya yang lembut benar-benar pas. Jangankan dimakan selagi hangat, saat sudah dinginpun masih enak. Dan membayangkannya sekarang bikin saya jadi ngiler...

Pulang dari Srabi Notosuman, ada sebuah kejadian yang lagi-lagi tidak akan kami lupakan. Bermula dari taksi tanpa argo yang kami naiki untuk mampir ke hotel sebentar mengambil barang lalu lanjut ke stasiun. Taksi tersebut mengaku taksi bandara sehingga tidak memasang argo, akhirnya berdasarkan pengalaman kami bilang saja akan membayar Rp 15000 seperti taksi-taksi lainnya, bapak sopir pun tidak banyak komentar. Sesampainya di hotel, dengan tergesa karena khawatir taksi menunggu lama, kami langsung naik ke lantai dua, mengambil barang-barang yang sudah dirapikan sejak pagi, check out, lalu... KE MANA TAKSINYA?! "Pak, lihat taksi yang ada di sini ngga tadi?" tanya saya pada bapak yang ada di parkiran. "Oh sudah pergi..." jawabnya. Taksinya kabur, sodara-sodara.. Dan dia belum dibayar...

12. Solo Balapan
Dengan taksi baru kami menuju stasiun Solo Balapan untuk melanjutkan perjalanan ke kota selanjutnya. Hujan mengiringi kepergian kami siang itu. Dan Solo Balapan menyambut kami dengan antrian puanjaaang karena loket Prambanan Ekspress yang seharga Rp 10000 itu baru akan dibuka satu setengah jam kemudian, sedangkan kereta sendiri dijadwalkan baru berangkat tiga jam lagi. Ini dia risikonya kalau sulit mengecek jadwal, waktu terasa terbuang percuma. Tapi apa boleh dikata, di luar hujan deras dan tidak ada pilihan lain selain menunggu.
Diam-diam saya merasa bangga bisa berada di stasiun ini, sebuah tempat legendaris yang biasanya hanya sering saya dengar lewat lagu Setasiun Balapan milik Didi Kempot. Petualangan selama satu setengah hari di Solo silih berganti muncul di benak hingga menyunggingkan senyum di bibir saya. Mungkin suatu hari saya akan kembali ke kota ini, untuk kembali menyantap Srabi Notosuman, merasakan Selat yang belum saya cicipi, dan untuk Permadi :))

Bersambung...

1 comment:

  1. Kalo satu saat di solo saya siap mandu lebih nyaman via mobil or angkutan umum.

    ReplyDelete