Wednesday, July 31, 2013

(Long) Road to Hijab

Awal Ramadhan lalu, saya sempat menyimak liputan profil seorang ustadz di salah satu televisi swasta. Wajahnya tampak familiar, hingga akhirnya tebakan saya benar, beliau adalah Harry Mukti. Melihat Harry Mukti, selalu otomatis mengingatkan saya pada hijab yang saya kenakan sekarang. Dialah sosok di balik melekatnya kain ini di tubuh saya, seseorang yang menjadi cikal bakal kesadaran saya tentang betapa pentingnya menutup aurat. 

Semua berawal dari peringatan Maulid Nabi (atau mungkin Isra Mi’raj) di SMP saat saya duduk di kelas 3. Dengan hebatnya, sekolah negeri yang berada di kampung Bojong Kiharib, Kabupaten Bogor, itu mendatangkan Ustadz Harry Mukti sebagai penceramah. Dan salah satu isi tausiyahnya yang paling menohok hadirin adalah: bahwa sehari saja seseorang tidak menutup aurat di depan orang yang bukan mahramnya, ia akan mendapat hukuman selama lima puluh ribu tahun di neraka! 

Seisi sekolah pun gentar. Keesokan harinyabeberapa guru dan murid perempuan langsung mengenakan seragam muslimMurid laki-lakipun tak mau kalah, mereka menggunakan kesempatan ini untuk memakai celana ukuran selutut a.k.a sontog -bahkan ada yang semata kaki-, dengan dalih menutup aurat, hingga berujung dengan hukuman dijemur di lapangan sekolah.

Sekolah pun akhirnya menerapkan peraturan agar setiap Jumat para murid mengenakan seragam muslim. Namun saya bersama kedua teman akrab di kelas, memutuskan bahwa kami akan memakainya setiap hari. Sampai akhirnya tibalah hari itu, hari dimana berjalan tidak semudah biasanya karena saya memang tidak biasa memakai rok panjang, apalagi model span yang terasa jingjet –if you know what I mean :))- seperti itu. Ya, saya mulai memakai kerudung, atau banyak yang menyebutnya dengan istilah jilbab (yang ini salah kaprah)*, dan sekarang lebih sering juga disebut hijab.

Selain di sekolah, saya juga mulai membiasakan diri memakai kerudung saat bepergian keluar rumah. Tapi tidak berlangsung lama. Seperti halnya shalat saya kala itu, hijab saya masih belang bentong. Kadang saya tidak memakainya saat keluar rumahkadang pulang sekolah bisa saya lepas lalu saya masukan tas, dan kadang pula di sekolah masih sering jambak-jambakan dengan teman hingga kerudung masing-masing pun berantakan.

Memasuki SMA, saya masih mengenakan seragam muslim karena merasa sudah terbiasa. Namun tidak ada perubahan yang berartihijab yang saya pakai masih sebatas seragam sekolah. Di luar itu, kadang pakai kadang tidak. Hingga akhirnya tibalah saat masuk kuliah, sayapun melepas hijab. Alasannya klasik: belum siap. Ditambah saat kuliah tidak ada istilah seragam, saya merasa tidak punya baju-baju yang mendukung untuk berhijab. Jangankan baju-baju panjang yang harganya cenderung lebih mahal, kantong mahasiswa saya terlalu tipis bahkan untuk membeli kaos hingga baju yang saya pakai itu-itu saja.

Tahun demi tahun berlalu. Rambut berwarna, jeans belel dengan robekan di lututdan kaos pendek yang kalau turun dari angkot harus dipegang bagian belakangnya, sudah menjadi bagian dari penampilan saya. Saya tidak pernah berpakaian seksi semacam rok mini atau hot pants. Satu-satunya pakaian ‘seksi’ yang pernah saya kenakan mungkin celana tidur tipis selutut dan atasan ketat dengan kerah lebar. Saya memakai setelan itu saat mencari makan siang di sekitar kostan, lalu saat sedang berjalan,tiba-tiba di belakang ada kakak kelas laki-laki saya berkata: hati-hati ya di neraka. Jleb!

Lama-lama saya melihat mulai banyak teman kampus yang memakai kerudung. Dan mereka masih bisa tampil menarik dengan hijabnya. Memang salah satu alasan perempuan enggan berhijab biasanya adalah: nanti ga bisa pakai baju ini, ga bisa pakai baju itu. Sama halnya dengan saya saat itu. Sampai akhirnya, alhamdulillah, pada Ramadhan tahun 2007 saya memutuskan untuk (kembali) menggunakan hijab. Anehnya, saat itu teman-teman di kampus banyak yang bertanya: pakai hijab selamanya atau cuma Ramadhan doang? Saya jawabselamanya lah. Bahkan saat itu saya baru tahu bahwa ada orang yang memakai hijab hanya pada Ramadhan saja.

Tapi rupanya kalimat tadi dijadikan setan untuk menggoda saya. Usai Lebaran, saat kembali ke kota Bandung, saya pergi dengan teman ke salah satu pusat perbelanjaan tanpa memakai kerudung. Saya pikir saya bisa menggunakan alasan ‘pakai hijab hanya bulan Ramadhan’ tadi sekaligus ingin melihat reaksi teman saya. Ia kaget dan seolah menyayangkan, sampai akhirnya saya merasa malu sendiri dan besoknya kembali berhijab.

Namun sampai di situ pun hijab saya masih belum sempurna, bahkan masih sangat jauuuh dari sempurna. Saya masih sering dasteran saat mencari makan keluar kostan, juga masih acuh tak acuh saat ada teman laki-laki yang melihat rambut saya. Pengertian aurat bagi saya saat itu masih sebatas rambut, hingga pakaian yang saya kenakan pun kadang masih berupa kerudung yang ujungnya dililit di leher, atasan ketat, juga legging sebagai bawahan.

Lalu Allah pun kembali menuntun saya. Beberapa bulan kemudian saya diterima job training di salah satu televisi muslim lokal Bandung, dimana baru beberapa hari kerja saya sudah ditegur karena cara berpakaian yang kurang sesuai (baca: tidak sopan)Lama-lama saya mulai membiasakan diri memakai rok -hasil berburu di pasar vintage a.k.a cimol- serta kerudung sedadaDi tempat ini juga, saya belajar bagaimana berpola pikir sebagai seorang muslim, yaitu memandang segala sesuatu dengan berdasarkan pada apa yang ada pada Al Qur’an dan Hadist. Ya, hidup saya banyak berubah di sini.

Tapi bukan manusia namanya kalau ia tidak terjerumus pada kesalahan, bahkan setelah ia disadarkan sekalipun. Begitupun saya. Proses berhijab saya masih terus berjalan. Bahkan setelah berhasil membiasakan diri menutup aurat di lingkungan kuliah dan kostan, sekembalinya ke Bogor selepas lulus saya belum bisa melakukan hal yang sama saat di rumah. Lalu kali ini jalan apa yang Ia tunjukan pada saya?

Kali ini, uhuk, saya dekat dengan seorang laki-laki yang… katakanlah baik agamanya. Bukan, saya bukan melakukan sesuatu (berhijab) semata-mata untuk dia. Mungkin lebih tepatnya adalah saat itu saya hanya berusaha memantaskan diri sehingga sedikit demi sedikit memperbaiki apa yang ada pada diri saya. Saya mulai membiasakan menutup aurat di lingkungan sekitar rumah, memakai kerudung saat pergi ke warung, sampai sering spontan sembunyi jika ada laki-laki yang bukan mahram masuk ke rumah. Yah begitulah, meskipun saat ini hubungan kami sudah berakhir, alhamdulillah tidak demikian halnya dengan kebiasaan saya.

Namun sayangnya saat memasuki dunia kerja penampilan saya di mataNya tidak lebih baik. Saya mulai lupa pada rok, tapi lebih dekat dengan celana jeans dan sesekali dengan legging yang pada akhirnya kembali memperlihatkan lekuk tubuhYa, lingkungan memang cukup (atau sangat?) berpengaruh terhadap apa yang kita lakukan. Maka beruntunglah saya yang tahun-tahun belakangan ini dipertemukan pada lingkungan social media bernama twitter yang akhirnya memperkenalkan saya pada akun-akun seperti @gadisberjilbabb, @HijabersComm, @pedulijilbab, @terranthijabist, dan masih banyak lagi. Dari merekalah akhirnya saya mendapat ilmu untuk senantiasa memakai hijab lebih baik lagi dan lagi.

Sekarang saya kembali mencoba menyatakan selamat tinggal pada legging, membiasakan mengulur kerudung hingga dada, menjauhi yang ketat-ketat, lebih berteman dekat dengan rok atau terusan, dan yang baru-baru ini saya lakukan yaitu memakai kaus kaki. Karena hijab bukan sebatas persoalan menutupi rambut, tapi bagaimana menutup aurat sesuai dengan ketentuan syariat. Dan hijab juga bukan sebatas ‘elo bakal masuk neraka kalo ga pake’, tapi lebih kepada menjalankan kewajiban yang jelas-jelas tertera pada Q.S. Al Ahzab: 59 dan An Nur: 31, serta wujud rasa cinta muslimah terhadap Pemiliknya yang pada akhirnya adalah untuk kebaikan dirinya sendiri.

Semoga saya, kita, bisa terus belajar agar bisa lebih baik dalam berhijab dan berusaha istiqomah dalam menjalankannya.

*Jilbab tidak sama dengan kerudung. Jilbab adalah pakaian longgar yang terjulur ke seluruh tubuh yang mana lebih dikenal dengan sebutan gamis.