Saturday, April 13, 2013

Pre Wedding Armada & Kiki

Hidup memang penuh kejutan. Seperti halnya saya yang tidak pernah membayangkan bahwa seorang sahabat yang dulu pernah mengantar rekannya ke kostan saya dengan berbatik ria layaknya orang mau kondangan, lalu pernah saya bawakan sarapan pagi-pagi demi numpang menumpahkan air mata di kostannya, juga pernah terciduk polisi karena membantu saya mengumpulkan dana dengan mengamen di depan Dago Plaza, suatu hari akan minta untuk dibuatkan foto pre wedding. Entah dapat wangsit dari mana hingga dia dan calon istrinya menjatuhkan pilihan pada saya yang masih amatiran ini. Tapi walau bagaimanapun juga, merupakan kehormatan bagi saya untuk bisa menjadi bagian dari persiapan rumit menjelang hari istimewa mereka tersebut.

Dan saya pun dengan senang hati melakukan sesi pemotretan yang dilaksanakan bertepatan dengan hari pemilihan gubernur Jawa Barat lalu di seputar Lido Lakes ResortTidak ada tema khusus kecuali nuansa outdoor. Sesuai request, saya membuatkan properti berupa pesawat kertas dengan tambahan kincir angin. Tidak sempurna memang, tapi saya senang karena karya kecil nan sederhana ini bisa turut meramaikan sudut-sudut bahagia di hari besar keduanya.






Well, happy wedding Armada Rizki & Rizki Darmayanti! I wish you have a wonderful marriage and happy life ahead <3 <3

Bekasi, 13 April 2013

Monday, April 8, 2013

Drama di Ujung Sumatra


Tidak pernah terpikir sebelumnya bahwa suatu hari saya akanmenginjakkan kaki di Lampung. Sampai akhirnya Vebby, sahabat semasa kuliah,mengundang untuk datang ke pernikahannya. Wow, ini akan jadi pengalaman pertamasaya pergi ke Pulau Sumatra! Senang tapi juga deg-degan. Naik apa ya ke Lampung? Pesawat dan kapal laut sama-sama menakutkannyabuat saya. Oh seandainya ada kereta... 


Saya pun memutuskan untuk naik Damri alias memilih jalur laut.Masih dengan hati berdebar-debar karena terbayang akan menaiki kapal di tengahlautan luas yang tidak akan ada apa-apa di sekitarnya kecuali air, layaknyaTitanic. Kalau kapalnya kenapa-kenapa gimana? Apalagi cuaca sedang ekstrim-ekstrimnya saat itu. Dan saya tidak bisa berenang. Sepertinya itu alasan utamanya. 

Berdua dengan Ratih, kami menaiki Damri dari pool-nyadi samping Botani Square. Inilah salah satu alasan saya naik Damri, tinggalduduk manis dari Bogor, lalu tahu-tahu sudah tiba di Lampung. Kami naik DamriRoyal Class jurusan Bogor-Bandar Lampung dengan tiket seharga Rp. 175.000.Hanya selisih Rp. 15.000 dengan yang biasa tapi jauuuh lebih nyaman dan mendapatfasilitas Wi-Fi, charger (ini yangpaling penting), serta seat 2-1 yangsuper empuk. Kalau kata Ratih, “berasadi pesawat”, hihi. Info selengkapnya mengenai trayek dan tarif Damri bisadibaca di sini.

Sesuai jadwal, bus berangkat jam 08.00 malam. 
"Horeee... Sponsbob dan Petrik pergi ke Lampung!" kata Ratih di samping saya sambil tertawa. Saya ikut tertawa mendengarnya. Gara-gara dulu di kostan kami berdua hobi nonton film kartun bawah laut itu, ia menyebut dirinya Patrick dan memberikan gelar Spongebob untuk saya. Padahal kan aku ngga kuning dan kotak .___.

Perjalanan malam bagi saya selalu menyenangkan. Apalagi bersama sahabat yang dulu pernah sangat dekat sekali kemudian tidak bertemu selama bertahun-tahun seperti Ratih. Cerita pun tak berhenti mengalir, mulai dari kisah masa lalu hingga kini. Satu hal yang pasti, meskipun sekarang Ratih sudah menjadi bunda dari seorang Arsya yang berumur 5 tahun, ia tidak berubah, masih dan tetap konyol seperti dulu XD

Kira-kira tengah malam, bus tiba di Pelabuhan Merak. Saya yang sepanjang jalan dihantui rasa cemas karena akan menyeberangi Selat Sunda untuk pertama kalinya semakin deg-degan. Doa dan decak kagum akan indahnya pemandangan di Merak malam hari silih berganti saya lontarkan. Sampai akhirnya setelah mengantre sedemikian rupa entah di dermaga nomor berapa, bus perlahan memasuki kapal Ferry bersama banyak kendaraan lainnya. Entah apa nama bagian dimana kendaraan-kendaraan tersebut diparkir, yang jelas tidak seseram bayangan saya sebelumnya. Fiuh...

Turun dari bus, kami dan para penumpang lain bergerak menaiki tangga menuju bagian atas kapal. Di sana ada kedai-kedai kecil lengkap dengan meja dan kursi serta beberapa ruangan yang bisa ditempati setelah membayar tiket sesuai harga kelasnya, 5000 (bisnis), 6000 (lesehan), dan 3000 (ekonomi). Ooo jadi bayar lagi toh. Tapi karena saya dan Ratih belum mengantuk lagi, kami memutuskan untuk berdiri di bagian ujung belakang pinggiran kapal. Merasakan dinginnya angin malam, masih sambil curhat, dan makan Pop Mie yang beleberan kemana-mana karena tertiup angin yang berhembus cukup kencang. Satu jam kemudian, barulah kami duduk di salah satu bangku kedai, menghirup teh manis panas, ditemani lagu-lagu lawas semacam Hotel California dan teman-temannya yang diputar di sana. Ah, ternyata penyebrangan ini tidak semengerikan yang saya bayangkan, karena di sekitar kapal masih tampak lampu-lampu pelabuhan, pulau-pulau, dan kapal lainnya yang juga hilir mudik di perairan Selat Sunda. Jadi ingat waktu harus liputan ke Pulau Seribu dulu, saya sempat ketakutan sampai berhari-hari, eh giliran hari H tiba justru malah sangat menikmati :">

Menjelang subuh, kapal merapat di Pelabuhan Bakauheni. Hmmp! Udara Lampung langsung tercium begitu kami menjejakkan kaki setelah turun di depan pom bensin yang tak jauh dari pelabuhan. Ya, pagi ini saya dan Ratih akan langsung mengunjungi Menara Siger yang masih berada di area Bakauheni. Errr tapi tampaknya kami kesubuhan dan tidak bisa juga menyaksikan sunrise di sana, karena berdasarkan informasi dari masyarakat sekitar tempatnya terlalu sepi dan kadang dipakai oleh orang mabuk. What?!

"Mau ngapain ke Menara Siger?"
"Ga ada apa-apa di sana."
"Dulu memang pernah ramai. Sekarang sepi. Palingan ramainya hari Minggu aja."
Begitu respon orang-orang sekitar yang tampak heran mendengar kami mau pergi ke menara itu. Pagi-pagi buta pula. Tapi tekad saya dan Ratih sudah bulat. Apalagi kami sudah turun dari Damri yang harusnya kalau dilanjutkan masih ada kira-kira 3 jam sisa perjalanan menuju kota Bandar Lampung. Maka setelah tidak menghabiskan sarapan porsi kuli di kedai sebuah pasar yang tak jauh dari sana, kami berjalan kira-kira 100 meter menuju gerbang Menara Siger. Sejak melihatnya dari dalam bus subuh hari, menara berbentuk mahkota pengantin wanita Lampung yang didominasi warna kuning dan merah ini sudah tampak megah, apalagi dipandang dari jarak yang semakin lama semakin dekat. KEREN!

Tiba di gerbang Menara Siger yang loketnya belum buka, kami bertemu petugas yang menyarankan untuk membayar sekadarnya. Tidak ingin pusing-pusing, kami membayar seharga tiket saja yaitu Rp 10.000 untuk 2 orang. Setelah mendapat sedikit informasi dari petugas yang memberitahu bahwa sesungguhnya menara ini adalah kraton, kami berjalan beberapa puluh meter lagi menuju menara. Dan ternyata memang menakjubkan saudara-saudara! Selain bangunannya yang megah, dari kawasan menara yang terletak di atas bukit ini juga kita bisa melihat langsung pemandangan lepas ke Pelabuhan Bakauheni dan juga bukit-bukit lain yang ada di sekitarnya.

Karena belum buka, pagi itu saya dan Ratih hanya bisa menelusuri bagian luar menara saja. Jika diperhatikan, tempat ini memang tampak kurang terawat dan tidak dikelola secara maksimal. Padahal dari artikel-artikel yang saya baca sebelumnya, konon Menara Siger yang menjadi landmark Lampung ini akan dimaksimalkan potensinya sebagai salah satu objek wisata yang menarik di Lampung. Mungkin karena tempatnya yang agak 'nanggung' untuk dikunjungi, jadi orang-orang yang menumpang Damri seperti saya, atau bahkan pesawat, agak malas untuk mampir ke tempat ini. Sedikit saran jika ingin berkunjung ke Menara Siger dengan berhemat menggunakan kendaraan umum, dibanding Damri atau semacamnya yang ongkosnya sudah dipatok untuk tujuan tertentu, lebih baik naik angkutan ke Merak dulu lalu lanjut menggunakan kapal Ferry kemudian dari Bakauheni disambung ojek atau jalan kaki. Kenapa? Karena dari Bakauheni ke Bandar Lampung masih harus menempuh perjalanan dengan biaya, waktu dan jarak layaknya Bogor-Bandung, bok.

Puas menguasai Menara Siger berdua saja, karena memang tidak ada orang lain di sana, saya dan Ratih kembali ke terminal yang ada di pelabuhan untuk mencari angkutan menuju Bandar Lampung. Sesuai saran ibu-ibu baik hati yang kami temui di pom bensin subuh hari, kami memilih naik travel dibanding bus, dengan ongkos Rp. 35000. Dengan travel ini kita bisa langsung minta diantar ke tempat tujuan. Dan tujuan kami selanjutnya adalah Museum Lampung. Karena, masih kata ibu-ibu tadi, kalau mau ke tempat lain semacam Lembah Hijau atau Kawasan Wisata Kedaton bisa-bisa saja, hanya saja pulangnya nanti bakalan sulit karena tidak ada kendaraan umum yang lewat. Baiklah. Dan travel pun melaju kencang di jalanan Lintas Sumatra yang lengang dengan beberapa kendaraan berat hilir mudik. Ah, ini sih macam di kampung saya, hanya saja di sini lebih sepi. Dan..., wow! Pemandangannya lebih menakjubkan karena tiba-tiba ada pantai di depan mata seusai mobil menaiki jalan yang menanjak.


Beberapa jam kemudian, travel mulai memasuki kawasan perkotaan. Satu hal yang langsung menarik perhatian saya adalah lambang mahkota siger yang terpajang hampir di semua bangunan yang ada di kanan-kiri jalan. Sepertinya itu yang membuat kawasan ini terlihat unik, karena kalau dari tata kotanya sendiri agak mengingatkan saya pada Sukabumi, hanya saja lebih ramai. Dan perjalanan kamipun berakhir di Jl. Zaenal Abidin Pagar Alam No. 109, tepat dimana Museum Lampung berada dan... tutup. Lupa kalau Kamis, 24 Januari 2013 saat itu adalah tanggal merah. Beruntung di bagian luar museum masih ada objek-objek peninggalan yang bisa dilihat mulai dari granat raksasa (yang entah kenapa membuat Ratih dan saya ketakutan :))), jangkar, meriam, sampai rumah adat panggung yang sayang sekali terdapat banyak coretan tipe-x-nya.

Selepas memutari bagian luar museum, kami memutuskan untuk pergi ke mall-nya Lampung. Bukannya apa-apa, tapi kadang mall memang bisa jadi pilihan terbaik untuk melepas lelah sekaligus numpang ngadem, hehee. Maka kamipun meluncur menggunakan angkot lalu disambung Trans Bandar Lampung a.k.a BRT. BRT ini mirip dengan Trans Jogja, hanya saja tarifnya beda-beda dan dibayar langsung ke kondektur di dalam bus, kadang 2500, 3000, atau 3500. Bedanya lagi, kalau transit di sebuah halte, saat menyambung BRT selanjutnya kita harus bayar lagi, tapi dengan tarif yang lebih murah yaitu 1500. Oh dan jangan kaget kalau dalam satu hari bisa bertemu dengan kondektur yang sama beberapa kali atau mendengar kabar BRT sedang demo, hihi.

Sesuai saran, kami turun terlebih dahulu di Central Plaza, karena ini adalah mall yang akan pertama dilewati di Jl. Kartini yang laju kendaraannya hanya satu arah. Tidak banyak yang bisa dilihat di mall yang berisi hipermarket, department store, bioskop 21 dan toko-toko kecil ini. Karenanya selepas mengisi perut dan baterai hp, kami langsung beranjak ke tempat selanjutnya yang hanya berjarak kira-kira 200 meteran dari sana, Mall Kartini alias Moka. Tidak jauh berbeda dari sebelumnya, tempat ini pun tidak begitu menarik, malah terlihat lebih lawas. Akhirnya seusai mengitari sekadarnya dan membeli minum di supermarket yang ada, kami beranjak menuju pool Damri di dekat Stasiun Tanjung Karang untuk membeli tiket pulang.

Di sinilah drama di mulai...

Usai membeli tiket, kami melipir ke Masjid Taqwa yang tak jauh dari sana. Beribadah, meluruskan kaki, sekaligus menunggu jemputan calon manten yang masih luluran entah di mana. Di luar hujan mulai turun. Saat Ashar menjelang, listrik padam di tengah para jamaah yang sedang ruku. Saya dan Ratih mulai pasrah. Meskipun tak lama kemudian lampu kembali menyala, namun di luar hujan semakin deras. Maka kamipun semakin pasrah menunggu Vebby menjemput karena hujan membuat kami tidak bisa kemana-mana. Ketika Isya hampir tiba, mobil jemputan datang, dan yang ada di kursi depan pun bukan Vebby melainkan adiknya, Myra. Jadi planning saat itu adalah menjemput Vebby di Pahoman, mengambil tas saya dan Ratih yang masih ada di penitipan barang supermarket, mengambil jahitan di daerah Way Halim, lalu barulah pulang ke Pringsewu. Oke, perjalanan masih panjang. 
Perjalanan menuju ke tempat Vebby lumayan lancar. Tapi sepertinya hujan telah melumpuhkan beberapa titik di kota Bandar Lampung hingga menyebabkan macet dan... banjir. Karena saat menuju mall untuk mengambil barang, laju kendaraan tiba-tiba memelan, merayap perlahan bersama banyak kendaraan lainnya. Jalan di depan Central Plaza pun dialihkan karena genangan air terlalu tinggi untuk dilewati kendaraan. Dan saat mobil hendak memasuki Mall Kartini, "Win, kok gelap Win..." ujar suara Ratih di sebelah. Saya langsung lemas seketika. Berbeda dengan bangunan lain di sekitarnya, Moka tampak gelap gulita.
Banjir rupanya telah masuk ke basement mall dan mengenai genset hingga menyebabkan kerusakan. Seluruh toko di mall telah tutup dan karyawan sudah dipulangkan. Saya rasanya ingin menangis saat itu juga saat security menyarankan untuk kembali esok hari. Terus besok pake baju apa? Masa iya ga pake seragam nikahan yang ngejahitnya aja udah susah payah dan penuh perjuangan. Itulah yang ada di pikiran saya. Dasar wanita. Beruntung Pak Satpam yang baik hati itu akhirnya bersedia mengajak kami ke basement untuk mencoba masuk supermarket melalui pintu belakang. Dan saat saya bersiap melinting celana agar tidak basah, lewatlah segerombolan karyawan supermarket berseragam kuning dari arah basement. Bahagianya bukan main saat setelah diberi penjelasan, seseorang yang mungkin manager langsung mengarahkan beberapa karyawan pria untuk kembali  dan mengambilkan barang kami. Rasa syukur, rasa bersalah karena telah merepotkan orang lain, rasa sesal karena meninggalkan barang sembarangan di tempat umum, dan rasa-rasa lainnya campur aduk jadi satu. Ah, itu dia tas merah bintang-bintang saya! Mas-mas yang membawakannya ganteng pula, sayang ngga sempat kenalan.
Dan skenario-Nya pun masih berlanjut. Ketegangan belum berakhir. Kami masih harus menghadang banjir yang bahkan selama di Jakarta pun saya belum pernah mengalaminya, juga sempat bersitegang dengan pengendara lain di tengah kemacetan. Semuanya mewarnai malam menjelang pernikahan Vebby. Padahal harusnya saat itu ia sudah istirahat dengan manis di kamarnya sambil deg-degan membayangkan prosesi ijab kabul besok pagi. Bukan keluyuran kesana kemari dan baru pulang saat tengah malam seperti adanya.

Well, untungnya kekacauan yang terjadi malam itu tidak hadir di esok harinya. Proses akad nikah hingga resepsi Vebby berjalan mulus dan tentu saja mengharukan. Sahabat saya sejak masih di kelas D hingga berlanjut ke Jurnalistik, teman jalan-jalan, bolos, menginap, mengerjakan tugas, pulang pergi Jatinangor, belanja, nonton konser, kuliner, showtime atau apalah itu sekarang telah resmi menjadi Nyonya Irfan. Selamat menempuh hidup baru Vebby Dwi Amanda sayang! Barakallahu laka wabaraka, alaika wa jama'a bainakuma fi khair :')



Perjalanan saya di Lampung tidaklah lama. Siang harinya saya sudah meluncur kembali ke Bandar Lampung bersama Ratih dan Adrian, menuju kawasan Teluk Betung untuk membeli keripik pisang khas Lampung di Toko Yen Yen dan mencicipi Pempek Nori rasa keju rekomendasinya Rubi. Enak! Hanya cita-cita makan bakso Sony saja yang belum tercapai. Malamnya, pukul 21.00, Damri kembali membawa saya pulang. Sendirian. Ratih kembali ke Pringsewu untuk hadir di resepsi Vebby lagi lusa harinya. Sementara Adrian yang juga pulang, balapan dengan saya di bus yang berbeda. Inilah akhir perjalanan saya di ujung selatan tanah Sumatra. Semoga lain waktu ada kesempatan lagi untuk mengunjungi bagian-bagian lainnya :)