Sunday, June 9, 2013

Hujan di Bulan Juni



Aku merapatkan bagian depan cardigan hitamku yang tak berkancing. Benar-benar kostum yang kurang tepat untuk dipakai di udara sedingin ini, bahkan kainnya pun tak cukup tebal untuk menghangatkan badan. 

“Dingin ga?” tanyamu. Pertanyaan bodoh.

Aku melirik ke arahmu sambil menggeleng dan mengulaskan senyum tipis. Jawaban yang tak kalah bodoh.

Diam-diam kau melepas jaket coklat itu. “Pakai nih,” katamu sambil menyampirkannya di bahuku.

“Makasih,” ujarku tersipu. Aku memakai jaket darimu sambil diam-diam menghirup wanginya. Masih sama seperti dulu. Aku senang, bukan karena badanku jadi hangat, tapi terlebih karena memakai benda milikmu.

Tak lama kau melingkarkan tangan kananmu di pundakku, sementara tangan kirimu sibuk naik turun sambil memegang benda putih dengan bara di ujungnya itu. Kau tahu aku tidak pernah suka melihatmu merokok. Tapi apa pedulimu dan apa pula hakku melarangmu?

Kabut tipis mulai turun. Dan kita masih menikmati pemandangan Puncak sore itu dari pelataran parkir sebuah restoran yang telah lama berdiri di sana. Aku duduk di kap mobilmu dan kau berdiri tanpa jarak secenti pun di sampingku. Kita tidak banyak bicara, sibuk dengan pikiran masing-masing. Ah, seandainya kau tahu kalau aku sangat bahagia saat sedang bersamamu.

Sampai akhirnya tetes-tetes air berbentuk gerimis pun turun. Kita berlari terhuyung-huyung masuk ke mobil.

Tumben sekali hujan turun. Padahal ini sudah bulan Juni…

*

“Bukannya Juni itu harusnya musim panas ya? Aku masih ingat pelajaran SD dulu yang bilang kalau musim hujan itu dari September sampai Maret, sedangkan musim panas dari Maret sampai September,” ujarku sambil mengunyah jagung bakar di kedai favorit kita. Sebuah kedai sederhana dengan pemandangan cantik kota Bogor nun jauh di bawahnya. Tidak kalah cantik dari pemandangan di tempat parkir tadi. 

Kau tersenyum seraya menghembuskan asap dari mulutmu. “Itu kan dulu, sekarang zamannya udah beda.”

“Iya juga sih...” Tapi tolong jangan bicara tentang pemanasan global atau semacamnya karena aku sedang tidak ingin mendengarnya.

“Atau mungkin hujan yang ini spesial buat kita…”

“Maksudnyaaa?” Aku mengerling sambil mencondongkan badan padamu yang sedari tadi duduk di samping kiri.

Kau tertawa pelan. Lalu mengacak-acak rambut di bagian atas kepalaku. Kau sudah tahu kelemahanku rupanya. Bahwa dengan gerakanmu barusan aku pasti langsung terdiam karena sibuk menenangkan hati yang tiba-tiba berdebar kencang.

“Spesial menyambut kedatangan kita setelah berbulan-bulan tidak pernah ke sini lagi?” ujarku berusaha terlihat tenang sambil menggenggam cangkir teh yang hangat di atas meja dengan kedua tangan. Mataku menatap lurus ke pemandangan di bawah sana. Masih sambil tersenyum. Rasanya aku benar-benar mengobral senyum tiap kali bersamamu.

“Bisa jadi,” katamu. Sepertinya ada yang aneh. Kau tidak banyak bicara hari ini. Biasanya kau selalu mengoceh panjang lebar tentang apapun yang ada di pikiranmu mulai dari pekerjaan, teman-teman, jalanan rusak, koruptor, sampai pemanasan global yang sempat kukhawatirkan tadi.

“Kamu kenapa? Dari tadi diam saja,” aku meminum tehku perlahan.

“Ga apa-apa,” ujarmu tertawa lagi sambil memencet hidungku. Nah kan, sekarang hidungku bau rokok, dan mungkin juga nanti akan tumbuh jerawat karenanya. Tapi tetap saja aku tak akan pernah bisa marah meskipun aku tak menyukainya.

“Oh iya! Kemarin waktu kamu SMS katanya ada yang mau disampaikan. Apa?”

“Mmm… Nanti saja.”

“Sekarang.”

“Nantiii…” Lagi-lagi kamu tertawa. Kali ini sambil menarik kepalaku dan membenamkannya di dadamu. Aku menyerah.

*

Pertemuan kita selalu sesederhana itu. Selalu Puncak. Atau selalu berujung di Puncak setelah kemanapun kita pergi sebelumnya. Dan aku menyukainya, karenanya aku tak pernah protes bahkan saat kau membelokkan mobilmu ke arah sana tanpa bertanya padaku terlebih dahulu. Bagiku itu jauh lebih baik dibanding kita saling berkata ‘terserah’ saat harus menentukan tujuan.

Ya, mungkin Puncak adalah salah satu hal yang sama-sama kita sukai selain bakso. Selebihnya selera kita lebih banyak berbeda, mulai dari film, musik, sampai bahan obrolan. Kau tahu? Mengobrol denganmu kadang membuatku jenuh. Tapi aku juga tak suka kalau harus diam terus menerus seperti sekarang ini.

“Hei! Kok bengong?” Kau mengibas-ngibaskan tangan kirimu di depan wajahku, sementara tangan kananmu sibuk memegang setir.

“Ga apa-apa,” Aku membalas jawabanmu saat di kedai tadi. Kau hanya tersenyum mendengarnya.

Lalu aku kembali terdiam. Mengingat semua hal yang telah kita lewati selama bertahun-tahun. Kita bertemu saat aku kelas 3 SMP dan kau kelas 2 SMA. Lalu kita pacaran satu bulan lamanya sampai akhirnya suatu hari aku memergokimu di warung mie ayam sedang bersama beberapa teman perempuanmu. Entah cemburu atau bukan, yang pasti setelah itu aku tidak mau lagi menemuimu. Lalu berbulan-bulan kemudian kau menelepon untuk memutuskanku dengan alasan sepupumu menyukaiku. Aku menerima keputusanmu. Tapi saat kau tanya ‘apakah kamu menyukai sepupuku’ dan aku jawab ‘tidak’, kau lantas menarik kembali keputusanmu. Yang benar saja. Dasar bodoh.

“Ih, senyum-senyum sendiri!” Suaramu membuyarkan lamunanku. “Ada apa sih? Bagi-bagi dong.”

“Ngga. Cuma sedang menertawakan kebodohan kita jaman dulu aja.”

“Yang mana? Waktu kamu jadian sama sepupuku?”

“Hih! Kamu tuh sama si Pirang.”

Aku memang sangat sebal saat setelah sekian lama tak bertemu usai kita putus itu, aku mendengarmu pacaran dengan adik kelasku yang berambut kepirang-pirangan itu. Bahkan menyebut namanya pun aku tak sudi. Itulah sebabnya aku enggan menerima ajakanmu untuk balikan lagi setelah kau putus dengannya dan malah memilih memacari sepupumu. Kau boleh menyebutku balas dendam, seandainya kau tahu memang itulah alasannya.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu dan menagihnya padamu. “Katanya ada yang mau dibicarakan?”

“Nanti saja,” katamu tenang sambil memandang lurus ke depan, lalu menoleh dan tersenyum padaku. Kembali mengacak-ngacak rambutku.

“Kapan? Ini kita udah di jalan pulang, loh.”

Kau menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Seolah ada beban berat yang harus dikeluarkan. “Sebenarnya ga ada apa-apa. Itu cuma alasanku biar bisa ketemu kamu.”

“Gombal.” Aku kembali terdiam karena sibuk menenangkan kupu-kupu yang berterbangan di perutku.

Kau tahu tidak perlu mencari alasan seperti itu untuk bertemu denganku. Katakan saja kau rindu dan itu sudah lebih dari cukup. Seperti yang selama ini kita rasakan. Meskipun jarak kita sempat terpisah ratusan kilometer saat kuliah, atau status kita sempat menjadi pacar orang selama bertahun-tahun, nyatanya rasa itu selalu ada dan membawa kita pada pertemuan-pertemuan semacam ini. Dan jika beberapa bulan lalu aku sempat beralasan ini itu saat kau mengajak bertemu, sumpah mati bukannya aku tidak mau! Aku hanya… Hanya ingin memastikan lagi rasa ini. Benarkah rasa ini memang untukmu? Benarkah kau orangnya? Karena bertahun-tahun setelah cinta monyet kilat itu, tidak pernah terjadi sesuatu yang serius lagi diantara kita. Kau pasti mengerti maksudku. 

Aku juga tahu, beberapa kali kau menunjukkan maksud untuk menjalin hubungan lagi, dan beberapa kali itu pula aku berpura-pura tidak mengerti maksudmu hingga hal itupun berlalu. Lalu disaat aku yang menginginkannya, kau sendiri pun malahan acuh tak acuh. Mungkin kita memang tak berjodoh, atau mungkin aku yang terlalu banyak menimbang-nimbang. Karena sejujurnya, kadang aku merasa tak nyaman saat berada di dekatmu, aku bosan mendengar ocehanmu yang itu-itu saja, aku tak mengerti mengapa kau mengajakku menonton film horror yang sebenarnya tak kusukai, aku tak suka membaca SMS-mu yang selalu typo, aku… Baiklah aku sadar sekarang, semua itu hanya alasan yang dibuat-dibuat saja. Bagaimanapun, berada di dekatmu selalu membuatku senang. Dan aku sadar sekarang bahwa selama ini kaulah orang yang aku butuhkan. Kali ini aku yakin.

“Lagunya Sheila On 7 tuh. Masih suka ngga?” Terdengar lagu Hujan Turun. Kau membesarkan sedikit volume radio mobilmu.

Aku mengangguk senang. Senang karena kau masih ingat band kesukaanku. Aku juga masih ingat band kesukaanmu dulu. Kau suka Slank kan? Aku ingat betul dulu pernah memintamu menuliskan lirik Terlalu Manis. Dan kau menuliskannya dalam secarik kertas surat wangi yang sayangnya sudah kubakar saat kita putus. Dramatis sekali bukan?

Tak lama kemudian kau menghentikan mobilmu tepat di depan rumahku. Hari sudah larut malam dan hujan belum juga reda. Ah, ini bagian yang paling aku tidak suka, berpisah denganmu. Tapi bukankah seharusnya aku tidak sedih karena biasanya kau akan memeluk lalu mengecup keningku? Lalu kenapa kali ini kau memandangku dengan tatapan seperti itu? 

“Makasih ya,” Aku membuka suara.Tersenyum semanis mungkin.

“Aku yang makasih karena kamu udah mau nemenin aku jalan-jalan,” katamu pelan. Masih dengan tatapan tadi. Tatapan yang membuat perasaanku tidak enak.

“Dengan senang hati. Kapanpun kamu mau, kita bisa main lagi.”

Kamu menggeleng pelan. “Sepertinya ngga mungkin.”

“Kenapa?” Aku menatapmu heran. Kau tidak menjawab, tapi malah mencondongkan badanmu ke kursi belakang seperti hendak mengambil sesuatu.

“Maafin aku...” Kau meletakkan sesuatu di pangkuanku. Sesuatu yang terbungkus amplop tebal dengan wanginya yang khas. Ada salah satu inisial namamu di ujung kiri atasnya.

Hujan di bulan Juni ini semakin deras. Bahkan meskipun aku belum turun dari mobilmu, amplop itu telah basah.