Minggu, 30 Desember 2012. Pukul 16.04, kereta Prambanan Ekspress
perlahan memasuki stasiun Tugu. Sebuah tempat yang selalu membuat jantung saya
berdesir dan sepenggal lirik "pulang ke
kotamu..." milik KLA Project melintas di kepala. Inilah tempat petualangan saya, Rika, Mita dan Welly selanjutnya, Yogyakarta.
1. Soto
Sulung Stasiun Tugu
Jogja menyambut
kami dengan mendung yang menggelayut di atasnya, lalu gerimis yang semakin lama
kian membesar pun turun. Beruntung kami menemukan tempat berteduh yang memang
sudah menjadi tujuan awal, Soto Sulung Stasiun Tugu. Kedai soto sulung yang buka dari jam 09.00-21.00 ini
berada di parkiran depan Stasiun Tugu, tepatnya di sebelah kiri pintu masuk, Jl.
Pasar Kembang. Kuliner yang menurut Yogyes terkenal legendaris tersebut mempunyai
dua pilihan yaitu Soto Daging (Rp 10500) dan Soto Campur (Rp 6000).
Soto dan hujan
adalah perpaduan yang pas. Tapi lebih pas lagi jika sore itu kami mandi lalu
merebahkan diri sejenak di kasur yang empuk. Maka dengan rasa tidak sabar untuk segera
tiba di penginapan, kami mencari taksi yang sangat langka di tengah hujan dan
kemacetan Jl. Jlagran. Oh, inilah risiko berlibur di akhir tahun. Jogja kali
ini pasti terasa lebih padat, bahkan sangat padat, dari biasanya.
2. Edu
Hostel
Kami tiba di tujuan
saat langit sudah hitam dan lampu-lampu telah dinyalakan. Edu Hostel, penginapan
yang akhirnya memberikan tempat setelah menghubungi puluhan hotel murah lain di
sekitar Malioboro yang fully booked. Kesan
pertama saat memasuki tempat ini adalah: bagus. Tampaknya penginapan baru
bernuansa modern ini benar-benar dirancang untuk memberikan suasana cozy terhadap tamu, mulai dari lobby, common TV area, hingga rooftop dengan pemandangan cantik yang juga dipakai sebagai tempat
sarapan. Namun karena harganya naik dalam rangka high season, kami tidak mengambil private room melainkan dormitory,
yaitu sharing room yang berisi 6
tempat tidur dengan tarif Rp 90000/orang. Beruntung malam itu dua teman sekamar yang lainnya belum datang sehingga kami masih bisa cekikikan sesuka hati,
hihi. Ini dia alamat hostelnya: Jl. LetJen Suprapto No. 17, Ngampilan,
Yogyakarta - (0274) 543295. Memang agak jauh sih kalau harus ditempuh dengan
jalan kaki dari Malioboro :’)
Tercetus ide
untuk menonton Habibie & Ainun, malam itu kami merencanakan pergi ke
Ambarukmo Plaza a.k.a Amplaz. Tapi apa yang terjadi? Lagi-lagi hujan, macet dan
taksi yang langka menyulitkan langkah kami. Setengah putus asa karena sudah terlanjur keluar namun hari
semakin malam, kamipun akhirnya terdampar di Bakmi Jawa Pak Rakiman Jl. KH
Ahmad Dahlan, menikmati bakmi godog dan oseng-oseng mercon Rp 11000an. Plesetan
‘Jogja Berhenti Nyaman’ berkelebat di kepala saya.
3. Candi
Prambanan
Pagi harinya,
kami melahap simple breakfast yang
disediakan hostel lalu bersiap menuju Candi Prambanan. Setelah menaiki Trans
Jogja jalur 1A seharga Rp 3000 dari halte Malioboro sampai Terminal Prambanan,
lalu berjalan kira-kira 100 meter lebih di Jl. Raya Jogja-Solo, kamipun tiba di pintu masuk. Candi
Prambanan masih terasa seperti saat saya mengunjunginya dalam rangka study tour dulu, ramai dan panas. Mungkin
selain harga tiketnya yang sekarang Rp 30000, yang membuat berbeda adalah Candi
Siwa (candi utama yang paling besar) terlihat dikelilingi oleh pagar pembatas
dan pengunjung yang ingin masuk harus antre serta menggunakan helm pelindung.
Rupanya candi ini baru dibuka kembali setelah proses renovasi yang memakan
waktu bertahun-tahun semenjak gempa 2006 silam.
Usai
mengelilingi kompleks candi, dalam perjalanan pulang menuju pintu gerbang kami
berbelok ke museum. Ah, museum selalu menarik untuk dikunjungi. Apalagi di sini
kita bisa melihat foto-foto pemugaran Candi Prambanan dari masa ke masa yang
ternyata memakan waktu yang sangat lamaaaaaaa sekali! Maka berterimakasihlah
karena sekarang kita bisa berjalan-jalan cantik sambil pose di sana sini
menikmati mahakarya yang dibangun dengan penuh perjuangan tersebut.
Bicara tentang
perjuangan, perjalanan pulang dari Prambanan benar-benar menguras tenaga.
Diawali dengan hopeless-nya kami
saat melihat antrean Trans Jogja yang mengular, hingga akhirnya memperoleh
taksi setelah penantian cukup panjang dan tawar menawar sampai mendapat harga
Rp 60000 untuk perjalanan menuju Malioboro. "Ngga
lagi diburu-buru kan mba? Saya ngga mau diburu-buru loh ya, soalnya jalanan
macet banget," kata si bapak taksi. "Iya
pak, santai aja," ujar kami. Lalu, whuzzz! Ia ngebut sedemikian rupa sampai membuat beberapa dari kami mual. Taksi yang
aneh @_@
4. Alun-Alun
Kidul
Selesai memutari
lapangan, jarum panjang masih jauh dari angka 12. Itu artinya kami masih punya
banyak waktu menjelang tengah malam. Karena masih hujan, kamipun mampir ke Kamikoti, sebuah café di
pinggiran Alkid, tepatnya Jl. Ngadisuryan, yang pernah saya kunjungi bersama
teman-teman @fiksimini hampir setahun yang lalu. Selain numpang berteduh sambil
ngopi-ngopi cantik, di sini kami juga menulis resolusi, membacakannya, lalu
mengaminkan dan memasukkan selembar kertas tersebut ke dalam dompet
masing-masing. Dear 2013, we’re coming!
Bunyi kembang
api mulai terdengar dari alun-alun. Dan hujan sepertinya berbaik hati meredakan dirinya sejenak. Tak ingin ketinggalan kemeriahan tersebut,
kamipun berlari ke sana sambil membawa gelas kopi take away masing-masing. Sejurus kemudian, bersama ratusan orang
lainnya yang memadati Alkid malam itu, kami menengadah ke langit sambil berdecak
kagum menikmati pemandangan spektakuler di atas sana. Bagi saya, kembang api
adalah salah satu hal terhebat nan romantis dalam peradaban manusia. Dan malam
itu, jutaan perciknya beterbangan mewarnai langit Alun-Alun Kidul, menemani
kami dalam menutup lembaran 2012 lalu membuka halaman baru di 2013. Yang masih penuh harapan.
Bunyi kembang
api masih terdengar sesekali, pesta belum usai, dan saya masih betah berada di
tempat berhiaskan beringin kembar tersebut. Bersama Ifan yang datang menyusul
di tengah-tengah pesta kembang api, saya mengelilingi Alkid satu putaran penuh,
diam-diam berharap agar suatu hari nanti bisa kembali lagi ke sana, lalu
pulang dengan becak ke hostel yang sama. Ya, ternyata Ifan menginap di tempat
yang sama dengan saya dan teman-teman :))
5. Tugu
Jogja, Alun-Alun Utara, dan Kraton Yogyakarta
Pagi pertama di
2013 kami awali dengan menaiki becak menuju Hotel Kartika di Jl. Sosrowijayan
No. 8. Bukan, bukan untuk pindah hotel, melainkan *TARAAA!* menyewa sepeda :D.
Jadi, setelah menelepon ke (0274) 562016 dan memastikan ada sepeda yang bisa
disewa, kamipun segera meluncur ke sana. Tarif sepeda yang disewakan berkisar
Rp 20000–30000 untuk 24 jam, lengkap dengan gembok dan kuncinya sehingga aman
dibawa kemana-mana. Yay, kami siap
keliling Jogja!
Tempat pertama
yang kami sambangi adalah Tugu Yogyakarta. Sebenarnya ini adalah cita-cita
terpendam saya, karena sekian kali bolak balik ke Jogja, saya belum pernah
berfoto di tugu yang populer sebagai landmark kota tersebut, hihi. Dan perjalanan
kami ke sana semakin tidak sia-sia bagi saya karena di Jl. Mangkubumi yang kami
lewati, saya menemukan Hotel Bhinneka, tempat menginap saat study tour SMA dulu. Entah kenapa saya senang menelusuri jejak masa
lalu seperti itu, mendatangi kembali atau sekadar melewati tempat-tempat yang
duluuu pernah saya singgahi. Bahkan saya berharap bisa melihat Hotel Sinar,
tempat menginap yang sangat spooky saat study tour SMP, yang
kalau tidak salah berada di Jl. Bhayangkari. Sayangnya saya tidak menemukannya.
Lepas dari Tugu,
kami mengayuh sepeda menuju Kraton, melewati Alun-Alun Utara yang ternyata
–sama seperti di Solo- sedang ada pasar malam dalam rangka perayaan Sekaten.
Dan perjalanan kami pagi itupun berakhir di gerbang Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat a.k.a Kraton Yogyakarta.
6. Museum
Kareta Karaton Ngayogyakarta
Usai kembali ke
hostel, sarapan, dan bertemu Nopha yang juga akan berlibur di Jogja, kami
kembali meluncur ke Kraton Yogyakarta. Kali ini sekaligus bertemu juga dengan
mba Eka. Yay, senangnya bertemu
banyak teman di Jogja! :D. Namun sayangnya hari itu kraton tutup, maka kamipun
langsung mengubah tujuan ke tempat yang tidak jauh dari sana dan sama-sama terletak di Jl. Rotowijayan yaitu Museum
Kareta Karaton Ngayogyakarta. Thank God tempat
ini buka, dan kebetulan sekali saya belum pernah masuk ke dalamnya.
Museum yang tiketnya seharga Rp 3000 ini
seluruhnya berisi kereta kencana yang biasa dipakai untuk keperluan kraton.
Cantik-cantik dan…, tetap berbau mistis. Setiap kereta ternyata punya nama-nama
masing yang rata-rata diawali dengan kata ‘Kyai’. Bodohnya, saya sempat menyangka
kalau itu adalah nama pemilik kereta sehingga berpikir "hebat ya kyai di sini, pada punya kereta sendiri-sendiri". Itulah
akibatnya kalau tidak ikut mendengarkan penjelasan dari guide yang berseliweran atau membaca keterangan yang ada. Akibat lainnya adalah, saat sedang mengagumi sebuah kereta putih
bergaya Eropa yang lain dari yang lain dengan bentuknya yang nyaris seperti balok
dan ingin berfoto di depannya, tiba-tiba terdengar suara Nopha, "oooh ini kereta jenazah ya," katanya
sambil manggut-manggut membaca tulisan yang ditempel di dinding samping kereta
tersebut. Glek!
7. Taman
Sari
"Anggun gemulai sang dewi penari, bawa legenda
putri di Taman Sari…", potongan lirik Jogja, Cinta Tanpa Akhir dari KLA
Project itu saya senandungkan selama dalam perjalanan hingga tiba di tempat yang berada di Jl. Taman ini. Taman Sari, tempat
yang selalu mengingatkan saya pada Mas Nugie, Ade, Adit, PakD, dan Om Bayoe
karena inilah lokasi yang pertama kali kami kunjungi saat ke Jogja bulan Maret
lalu. Namun kali ini Taman Sari tampak berbeda.
Ramai. Jadi jangan harap bisa berfoto ria tanpa ada orang tak dikenal yang menjadi background tambahan.
Terlepas dari
rasa bingung karena tempat ini bersatu dengan pemukiman warga sehingga kerap
kali kami tersesat di dalamnya, menurut saya Taman Sari adalah tempat yang
eksotis. Terbayang pada zaman dahulu kala anggota keluarga kerajaan
beramai-ramai mandi di sana, lalu di era berikutnya beberapa musisi membuat
video klip di lorong-lorong yang bagian atasnya mengerucut serupa kubah... Dan
mungkin di masa mendatang akan ada seorang perempuan yang kembali ke sana sambil membayangkan hal yang sama :’)
8. Bakpia
25
Bakpia adalah
menu wajib saya setiap ke Jogja. Maka sejak mengetahui bahwa tempat menginap
kami tidak jauh dari pusat bakpia di Jl. KS Tubun, saya sudah bercita-cita
untuk membeli penganan kesukaan ini selepas check
out dari hostel. Dengan sisa-sisa
tenaga yang ada untuk mengayuh sepeda di siang yang panas itu, kami mampir ke
pabrik Bakpia 25 favorit saya. Dan sungguh mencengangkan karena begitu masuk ke
dalam toko, sekelompok orang tampak berjubel mengerubungi pintu di mana bakpia
yang baru saja matang dikeluarkan. Tidak seperti biasanya, rupanya hari ini
kami harus mengantre, lebih tepatnya berebut, dengan pelanggan lainnya jika
ingin membeli bakpia tersebut. Merasa tidak sanggup, kami keluar dari toko dengan lemas dan
berniat membeli bakpia di tempat lain saja. Tentunya setelah mengembalikan
sepeda yang menguras tenaga ini. Jujur saja bersepeda di Jogja memang
menyenangkan, tapi kalau boleh menyarankan, sebaiknya tidak dilakukan di tengah
hari yang panas sambil menggendong ransel pula --"
9. Malioboro
Malioboro sudah sering kami lewati selama dua hari sebelumnya. Tapi untuk
khusus blusukan di dalamnya, kami jadwalkan hari ini sambil menunggu jadwal
kereta pulang. Namun sepertinya bukan keputusan yang tepat pula, karena hari
itu Malioboro sangat padat oleh para pembeli yang sibuk menawar di sana
sini. Lapak kaki lima penuh, Mirota Batik tutup, Pasar Beringharjo terasa sesak, bahkan Malioboro Mall pun tidak senyaman biasanya. Niat untuk membeli oleh-oleh mau tidak mau saya batalkan. Rasa lelah menuntun saya untuk lebih memilih menghempaskan tubuh di salah satu kursi Dunkin Donuts pinggiran Malioboro. Ada Binjat
juga yang turut menghidupkan suasana. Bertemu teman yang sudah lama
tidak dijumpai memang selalu menyenangkan :)
Penelusuran di Malioboro kami tutup setelah saya membeli Bakpiapia Djogdja di Malioboro Mall dan sepasang sandal
kulit coklat Rp 20000 karena flat shoes yang
saya pakai bagian depannya mulai menganga akibat sering basah oleh hujan. Perfect!
Pada akhirnya di sore yang sendu oleh mendung itu, becak mengantar kami menuju stasiun Lempuyangan. Mengejar kereta Progo yang akan membawa kami pulang pada pukul 16.50. Rasa haru berkecamuk di hati dan pikiran saya. Sulit rasanya meninggalkan kota yang entah mengapa begitu saya cintai ini. Meskipun saat itu ia sedang tidak seramah biasanya, tapi saya tetap senang luar biasa karena bisa bertemu dengannya kembali. Semoga suatu hari nanti saya bisa mengunjunginya lagi. Lagi dan lagi...
Pada akhirnya di sore yang sendu oleh mendung itu, becak mengantar kami menuju stasiun Lempuyangan. Mengejar kereta Progo yang akan membawa kami pulang pada pukul 16.50. Rasa haru berkecamuk di hati dan pikiran saya. Sulit rasanya meninggalkan kota yang entah mengapa begitu saya cintai ini. Meskipun saat itu ia sedang tidak seramah biasanya, tapi saya tetap senang luar biasa karena bisa bertemu dengannya kembali. Semoga suatu hari nanti saya bisa mengunjunginya lagi. Lagi dan lagi...