Wednesday, February 20, 2013

The Always Lovely Jogja


Minggu, 30 Desember 2012. Pukul 16.04, kereta Prambanan Ekspress perlahan memasuki stasiun Tugu. Sebuah tempat yang selalu membuat jantung saya berdesir dan sepenggal lirik "pulang ke kotamu..." milik KLA Project melintas di kepala. Inilah tempat petualangan saya, Rika, Mita dan Welly selanjutnya, Yogyakarta.

1. Soto Sulung Stasiun Tugu
Jogja menyambut kami dengan mendung yang menggelayut di atasnya, lalu gerimis yang semakin lama kian membesar pun turun. Beruntung kami menemukan tempat berteduh yang memang sudah menjadi tujuan awal, Soto Sulung Stasiun Tugu. Kedai soto sulung yang buka dari jam 09.00-21.00 ini berada di parkiran depan Stasiun Tugu, tepatnya di sebelah kiri pintu masuk, Jl. Pasar Kembang. Kuliner yang menurut Yogyes terkenal legendaris tersebut mempunyai dua pilihan yaitu Soto Daging (Rp 10500) dan Soto Campur (Rp 6000).

Soto dan hujan adalah perpaduan yang pas. Tapi lebih pas lagi jika sore itu kami mandi lalu merebahkan diri sejenak di kasur yang empuk. Maka dengan rasa tidak sabar untuk segera tiba di penginapan, kami mencari taksi yang sangat langka di tengah hujan dan kemacetan Jl. Jlagran. Oh, inilah risiko berlibur di akhir tahun. Jogja kali ini pasti terasa lebih padat, bahkan sangat padat, dari biasanya.

2. Edu Hostel
Kami tiba di tujuan saat langit sudah hitam dan lampu-lampu telah dinyalakan. Edu Hostel, penginapan yang akhirnya memberikan tempat setelah menghubungi puluhan hotel murah lain di sekitar Malioboro yang fully booked. Kesan pertama saat memasuki tempat ini adalah: bagus. Tampaknya penginapan baru bernuansa modern ini benar-benar dirancang untuk memberikan suasana cozy terhadap tamu, mulai dari lobby, common TV area,  hingga rooftop dengan pemandangan cantik yang juga dipakai sebagai tempat sarapan. Namun karena harganya naik dalam rangka high season, kami tidak mengambil private room melainkan dormitory, yaitu sharing room yang berisi 6 tempat tidur dengan tarif Rp 90000/orang. Beruntung malam itu dua teman sekamar yang lainnya belum datang sehingga kami masih bisa cekikikan sesuka hati, hihi. Ini dia alamat hostelnya: Jl. LetJen Suprapto No. 17, Ngampilan, Yogyakarta - (0274) 543295. Memang agak jauh sih kalau harus ditempuh dengan jalan kaki dari Malioboro :’)

Tercetus ide untuk menonton Habibie & Ainun, malam itu kami merencanakan pergi ke Ambarukmo Plaza a.k.a Amplaz. Tapi apa yang terjadi? Lagi-lagi hujan, macet dan taksi yang langka menyulitkan langkah kami. Setengah putus asa karena sudah terlanjur keluar namun hari semakin malam, kamipun akhirnya terdampar di Bakmi Jawa Pak Rakiman Jl. KH Ahmad Dahlan, menikmati bakmi godog dan oseng-oseng mercon Rp 11000an. Plesetan ‘Jogja Berhenti Nyaman’ berkelebat di kepala saya.

3. Candi Prambanan
Pagi harinya, kami melahap simple breakfast yang disediakan hostel lalu bersiap menuju Candi Prambanan. Setelah menaiki Trans Jogja jalur 1A seharga Rp 3000 dari halte Malioboro sampai Terminal Prambanan, lalu berjalan kira-kira 100 meter lebih di Jl. Raya Jogja-Solo, kamipun tiba di pintu masuk. Candi Prambanan masih terasa seperti saat saya mengunjunginya dalam rangka study tour dulu, ramai dan panas. Mungkin selain harga tiketnya yang sekarang Rp 30000, yang membuat berbeda adalah Candi Siwa (candi utama yang paling besar) terlihat dikelilingi oleh pagar pembatas dan pengunjung yang ingin masuk harus antre serta menggunakan helm pelindung. Rupanya candi ini baru dibuka kembali setelah proses renovasi yang memakan waktu bertahun-tahun semenjak gempa 2006 silam.
Usai mengelilingi kompleks candi, dalam perjalanan pulang menuju pintu gerbang kami berbelok ke museum. Ah, museum selalu menarik untuk dikunjungi. Apalagi di sini kita bisa melihat foto-foto pemugaran Candi Prambanan dari masa ke masa yang ternyata memakan waktu yang sangat lamaaaaaaa sekali! Maka berterimakasihlah karena sekarang kita bisa berjalan-jalan cantik sambil pose di sana sini menikmati mahakarya yang dibangun dengan penuh perjuangan tersebut.

Bicara tentang perjuangan, perjalanan pulang dari Prambanan benar-benar menguras tenaga. Diawali dengan hopeless­-nya kami saat melihat antrean Trans Jogja yang mengular, hingga akhirnya memperoleh taksi setelah penantian cukup panjang dan tawar menawar sampai mendapat harga Rp 60000 untuk perjalanan menuju Malioboro. "Ngga lagi diburu-buru kan mba? Saya ngga mau diburu-buru loh ya, soalnya jalanan macet banget," kata si bapak taksi. "Iya pak, santai aja," ujar kami. Lalu, whuzzz! Ia ngebut sedemikian rupa sampai membuat beberapa dari kami mual. Taksi yang aneh @_@

4. Alun-Alun Kidul
It’s new year eve! Dan dari semua titik pesta kembang api yang tersebar di Jogja, kami memilih Alun-Alun Kidul a.k.a Alkid. Masih diwarnai perjuangan seputar menunggu hujan reda dan pencarian (kali ini) becak, kami tiba di Alkid menjelang pukul 23.00. Hujan rintik-rintik masih membasahi area tersebut sehingga hasrat untuk lesehan pun pupus sudah. Tapi cita-cita untuk naik becak hias tetap harus terlaksana. Maka malam itu kami mengitari lapangan Alkid dengan becak berhiaskan lampu warna warni yang tarifnya dipatok Rp 30000/putaran dan Rp 50000 untuk dua kali putaran. Harga tahun baru katanya, plus sebagian dari pendapatannya akan disumbangkan kepada yang membutuhkan. Masya Allah, baik bener masnya :’)
Selesai memutari lapangan, jarum panjang masih jauh dari angka 12. Itu artinya kami masih punya banyak waktu menjelang tengah malam. Karena masih hujan, kamipun mampir ke Kamikoti, sebuah cafĂ© di pinggiran Alkid, tepatnya Jl. Ngadisuryan, yang pernah saya kunjungi bersama teman-teman @fiksimini hampir setahun yang lalu. Selain numpang berteduh sambil ngopi-ngopi cantik, di sini kami juga menulis resolusi, membacakannya, lalu mengaminkan dan memasukkan selembar kertas tersebut ke dalam dompet masing-masing. Dear 2013, we’re coming!
Bunyi kembang api mulai terdengar dari alun-alun. Dan hujan sepertinya berbaik hati meredakan dirinya sejenak. Tak ingin ketinggalan kemeriahan tersebut, kamipun berlari ke sana sambil membawa gelas kopi take away masing-masing. Sejurus kemudian, bersama ratusan orang lainnya yang memadati Alkid malam itu, kami menengadah ke langit sambil berdecak kagum menikmati pemandangan spektakuler di atas sana. Bagi saya, kembang api adalah salah satu hal terhebat nan romantis dalam peradaban manusia. Dan malam itu, jutaan perciknya beterbangan mewarnai langit Alun-Alun Kidul, menemani kami dalam menutup lembaran 2012 lalu membuka halaman baru di 2013. Yang masih penuh harapan.
Bunyi kembang api masih terdengar sesekali, pesta belum usai, dan saya masih betah berada di tempat berhiaskan beringin kembar tersebut. Bersama Ifan yang datang menyusul di tengah-tengah pesta kembang api, saya mengelilingi Alkid satu putaran penuh, diam-diam berharap agar suatu hari nanti bisa kembali lagi ke sana, lalu pulang dengan becak ke hostel yang sama. Ya, ternyata Ifan menginap di tempat yang sama dengan saya dan teman-teman :))

5. Tugu Jogja, Alun-Alun Utara, dan Kraton Yogyakarta
Pagi pertama di 2013 kami awali dengan menaiki becak menuju Hotel Kartika di Jl. Sosrowijayan No. 8. Bukan, bukan untuk pindah hotel, melainkan *TARAAA!* menyewa sepeda :D. Jadi, setelah menelepon ke (0274) 562016 dan memastikan ada sepeda yang bisa disewa, kamipun segera meluncur ke sana. Tarif sepeda yang disewakan berkisar Rp 20000–30000 untuk 24 jam, lengkap dengan gembok dan kuncinya sehingga aman dibawa kemana-mana. Yay, kami siap keliling Jogja!
Tempat pertama yang kami sambangi adalah Tugu Yogyakarta. Sebenarnya ini adalah cita-cita terpendam saya, karena sekian kali bolak balik ke Jogja, saya belum pernah berfoto di tugu yang populer sebagai landmark kota tersebut, hihi. Dan perjalanan kami ke sana semakin tidak sia-sia bagi saya karena di Jl. Mangkubumi yang kami lewati, saya menemukan Hotel Bhinneka, tempat menginap saat study tour SMA dulu. Entah kenapa saya senang menelusuri jejak masa lalu seperti itu, mendatangi kembali atau sekadar melewati tempat-tempat yang duluuu pernah saya singgahi. Bahkan saya berharap bisa melihat Hotel Sinar, tempat menginap yang sangat spooky saat study tour SMP, yang kalau tidak salah berada di Jl. Bhayangkari. Sayangnya saya tidak menemukannya.
Lepas dari Tugu, kami mengayuh sepeda menuju Kraton, melewati Alun-Alun Utara yang ternyata –sama seperti di Solo- sedang ada pasar malam dalam rangka perayaan Sekaten. Dan perjalanan kami pagi itupun berakhir di gerbang Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat a.k.a Kraton Yogyakarta.

6. Museum Kareta Karaton Ngayogyakarta
Usai kembali ke hostel, sarapan, dan bertemu Nopha yang juga akan berlibur di Jogja, kami kembali meluncur ke Kraton Yogyakarta. Kali ini sekaligus bertemu juga dengan mba Eka. Yay, senangnya bertemu banyak teman di Jogja! :D. Namun sayangnya hari itu kraton tutup, maka kamipun langsung mengubah tujuan ke tempat yang tidak jauh dari sana dan sama-sama terletak di Jl. Rotowijayan yaitu Museum Kareta Karaton Ngayogyakarta. Thank God tempat ini buka, dan kebetulan sekali saya belum pernah masuk ke dalamnya.
Museum yang tiketnya seharga Rp 3000 ini seluruhnya berisi kereta kencana yang biasa dipakai untuk keperluan kraton. Cantik-cantik dan…, tetap berbau mistis. Setiap kereta ternyata punya nama-nama masing yang rata-rata diawali dengan kata ‘Kyai’. Bodohnya, saya sempat menyangka kalau itu adalah nama pemilik kereta sehingga berpikir "hebat ya kyai di sini, pada punya kereta sendiri-sendiri". Itulah akibatnya kalau tidak ikut mendengarkan penjelasan dari guide yang berseliweran atau membaca keterangan yang ada. Akibat lainnya adalah, saat sedang mengagumi sebuah kereta putih bergaya Eropa yang lain dari yang lain dengan bentuknya yang nyaris seperti balok dan ingin berfoto di depannya, tiba-tiba terdengar suara Nopha, "oooh ini kereta jenazah ya," katanya sambil manggut-manggut membaca tulisan yang ditempel di dinding samping kereta tersebut. Glek!

7. Taman Sari
"Anggun gemulai sang dewi penari, bawa legenda putri di Taman Sari…", potongan lirik Jogja, Cinta Tanpa Akhir dari KLA Project itu saya senandungkan selama dalam perjalanan hingga tiba di tempat yang berada di Jl. Taman ini. Taman Sari, tempat yang selalu mengingatkan saya pada Mas Nugie, Ade, Adit, PakD, dan Om Bayoe karena inilah lokasi yang pertama kali kami kunjungi saat ke Jogja bulan Maret lalu. Namun kali ini Taman Sari tampak berbeda. Ramai. Jadi jangan harap bisa berfoto ria tanpa ada orang tak dikenal yang menjadi background tambahan.
Terlepas dari rasa bingung karena tempat ini bersatu dengan pemukiman warga sehingga kerap kali kami tersesat di dalamnya, menurut saya Taman Sari adalah tempat yang eksotis. Terbayang pada zaman dahulu kala anggota keluarga kerajaan beramai-ramai mandi di sana, lalu di era berikutnya beberapa musisi membuat video klip di lorong-lorong yang bagian atasnya mengerucut serupa kubah... Dan mungkin di masa mendatang akan ada seorang perempuan yang kembali ke sana sambil membayangkan hal yang sama :’)

8. Bakpia 25
Bakpia adalah menu wajib saya setiap ke Jogja. Maka sejak mengetahui bahwa tempat menginap kami tidak jauh dari pusat bakpia di Jl. KS Tubun, saya sudah bercita-cita untuk membeli penganan kesukaan ini selepas check out dari hostel. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada untuk mengayuh sepeda di siang yang panas itu, kami mampir ke pabrik Bakpia 25 favorit saya. Dan sungguh mencengangkan karena begitu masuk ke dalam toko, sekelompok orang tampak berjubel mengerubungi pintu di mana bakpia yang baru saja matang dikeluarkan. Tidak seperti biasanya, rupanya hari ini kami harus mengantre, lebih tepatnya berebut, dengan pelanggan lainnya jika ingin membeli bakpia tersebut. Merasa tidak sanggup, kami keluar dari toko dengan lemas dan berniat membeli bakpia di tempat lain saja. Tentunya setelah mengembalikan sepeda yang menguras tenaga ini. Jujur saja bersepeda di Jogja memang menyenangkan, tapi kalau boleh menyarankan, sebaiknya tidak dilakukan di tengah hari yang panas sambil menggendong ransel pula --"

9. Malioboro
Malioboro sudah sering kami lewati selama dua hari sebelumnya. Tapi untuk khusus blusukan di dalamnya, kami jadwalkan hari ini sambil menunggu jadwal kereta pulang. Namun sepertinya bukan keputusan yang tepat pula, karena hari itu Malioboro sangat padat oleh para pembeli yang sibuk menawar di sana sini. Lapak kaki lima penuh, Mirota Batik tutup, Pasar Beringharjo terasa sesak, bahkan Malioboro Mall pun tidak senyaman biasanya. Niat untuk membeli oleh-oleh mau tidak mau saya batalkan. Rasa lelah menuntun saya untuk lebih memilih menghempaskan tubuh di salah satu kursi  Dunkin Donuts pinggiran Malioboro. Ada Binjat juga yang turut menghidupkan suasana. Bertemu teman yang sudah lama tidak dijumpai memang selalu menyenangkan :)
Penelusuran di Malioboro kami tutup setelah saya membeli Bakpiapia Djogdja di Malioboro Mall dan sepasang sandal kulit coklat Rp 20000 karena flat shoes yang saya pakai bagian depannya mulai menganga akibat sering basah oleh hujan. Perfect!


Pada akhirnya di sore yang sendu oleh mendung itu, becak mengantar kami menuju stasiun Lempuyangan. Mengejar kereta Progo yang akan membawa kami pulang pada pukul 16.50. Rasa haru berkecamuk di hati dan pikiran saya. Sulit rasanya meninggalkan kota yang entah mengapa begitu saya cintai ini. Meskipun saat itu ia sedang tidak seramah biasanya, tapi saya tetap senang luar biasa karena bisa bertemu dengannya kembali. Semoga suatu hari nanti saya bisa mengunjunginya lagi. Lagi dan lagi...

Friday, February 1, 2013

Solo, Kota yang Penuh Kejutan


Entah kenapa, saat merencanakan liburan akhir tahun ke Jogja beberapa bulan lalu, Solo terpilih sebagai kota lain yang akan saya dan Rika, Mita, Welly kunjungi. Mungkin karena kota ini yang memang jadi terkenal gara-gara Jokowi, atau lebih tepatnya karena Solo adalah tetangga terdekat Jogja yang paling menarik dibanding daerah lainnya. Setidaknya bagi kami.

Maka dengan segala ketidaktahuan kami tentang Solo, berangkatlah kami dari stasiun Tanah Abang menggunakan kereta ekonomi Bengawan seharga Rp 37000 pada Jumat, 28 Desember 2012 lalu pukul 19.40. 

And the journey begins...

Setelah kepanasan lantas kedinginan dalam menempuh perjalanan malam di kereta, kami tiba di Solo Jebres pukul 06.47 sesuai jadwal. Tidak ingin pusing-pusing, perjalanan di Solo yang hanya dijadwalkan satu hari setengah itu pun kami serahkan pada artikel 24 Jam Menakjubkan di Solo mahakarya detikTravel. Itu artinya, tempat-tempat yang akan kami kunjungi di Solo antara lain:

1. Gelora Manahan
Jika dilihat di peta, jarak dari stasiun yang berada di Jl. Ledoksari ke stadion di Jl. Adi Sucipto itu cukup jauh. Karena yang berkeliaran di depan Solo Jebres adalah taksi tanpa argo yang menembakkan tarif Rp 25000, kami memutuskan untuk menaiki bus Atmo seharga Rp 2500 dengan syarat harus jalan kaki puluhan hingga ratusan meter sebelum dan sesudah turun dari bus. Sempat ‘disasarkan’ seorang bapak tua di sepeda yang petunjuknya melenceng jauh dan bahkan berkata kiri sambil tangan menunjuk ke kanan, kami pun tiba di Gelora Manahan setelah sebelumnya berjalan di area hijau jalur lambat yang suasananya serasa di Eropah. Yay! Agak bingung juga begitu berada di dalam stadion, karena ternyata di sana tidak ada makanan berat untuk mengganjal perut kami yang sudah sangat kelaparan. Maka pilihan pun jatuh kepada Nasi Bandeng yang bentuknya seimut harganya, Rp 1500 saja. Inilah petualangan kami pada pagi pertama di kota Solo.

2. Hotel Wigati
Lepas dari stadion, kami langsung menuju hotel hasil per-googling-an selama ini yang banyak direkomendasikan para backpackers di dunia maya yaitu Wigati. Dan ternyata kami tidak salah pilih karena penginapan yang berada di pinggiran jalan utama Solo, yaitu Slamet Riyadi, ini memang menawarkan tempat yang cukup nyaman dengan harga terjangkau. Sayang sekali saya lupa memotret daftar harga yang ada di meja resepsionis dan suasana kamar yang kami tempati. Yang pasti hotel ini memasang tarif paling murah mulai dari Rp 30000 untuk kamar tipe Ekonomi 4 sampai Rp 110000 untuk kamar VIP 1. High season? Ngga ngaruh! Karena kamar VIP 2 (dilengkapi AC dan TV) yang kami tempati kemarin harganya tetap Rp 95000 dengan extra person 15000/orang. Kalau mau menginap di sini, berikut alamat dan nomor teleponnya: Jl. Banda 2, Keprabon, Banjarsari, Solo – (0271) 637341.

3. Kraton Surakarta Hadiningrat
Setelah membersihkan diri dan menaruh barang bawaan di hotel, kamipun bersiap menuju Istana Mangkunegaran. Kali ini taksi (dengan argo tentunya) kembali menjadi pilihan kami seperti saat perjalanan dari stadion ke hotel sebelumnya. Psst, kalau orangnya banyakan, memang lebih baik naik taksi ketimbang becak karena jatuhnya lebih murah. Walaupun harus membayar minimal Rp 15000, tapi argonya sendiri ngga pernah lebih dari itu, jadi lumayan banget kan kalau naiknya berempat ;). Nah di tengah jalan, si bapak sopir yang tahu tujuan awal kami, langsung menyarankan agar lebih baik mengunjungi Kraton Surakarta Hadiningrat a.k.a Kraton Kasunanan Surakarta karena katanya di sana lebih ramai dan sedang ada perayaan Sekatenan pula. Terbujuk oleh rayuan sopir, kamipun mengiyakan dan ternyata wow!, saking ramainya jalan ke arah Kraton sampai macet!
Kraton Kasunanan yang terletak di Jl. Mangkubumen Sasono Mulyo ini buka setiap hari kecuali Jumat dari pukul 8.30-14.00, sedangkan khusus Minggu hanya sampai pukul 13.00. Dengan tiket seharga Rp 4000, kita sudah bisa memasuki Kraton yang didominasi warna putih-biru dengan campuran nuansa Eropa ini. Menelusuri ruangan demi ruangan museum di Kraton Kasunanan, kesan pertama yang tertangkap adalah pengap. Jika dibandingkan dengan Kraton Jogja, museum di sini tampak kurang terawat dengan debu yang menempel di sana sini. Tapi walau bagaimanapun, benda-benda peninggalan sejarahnya tidak kalah menarik. Dan yang tidak akan kami lupakan adalah: dua buah kereta kencana putih bergaya Eropa yang dipajang di luar ruangan. Ada apa dengan kereta-kereta ini? Jadi ketika sedang asyik-asyiknya berpose sambil sesekali memegang bagian dari kereta tersebut, lewatlah seorang guide sambil berkata kepada rombongan kecilnya, "sebenarnya kereta-kereta ini tidak boleh disentuh apalagi diambil gambarnya, yaaa mudah-mudahan saja tidak ada sesuatu yang terjadi bagi yang sudah terlanjur melakukannya," ungkapnya kalem. Jleb! Saya dan teman-teman langsung memandang satu sama lain sambil melipir perlahan. Sejak saat itu, kereta tersebut selalu jadi kambing hitam jika ada kesialan yang menimpa kami Solo. Dan sayapun (jadi) tidak berani mengunggah fotonya, hihi.
Penelusuran area Kraton kami akhiri dengan jalan-jalan cantik bertelanjang kaki ditemani angin sepoi-sepoi di halamannya yang dipenuhi dengan pohon-pohon tinggi beralaskan pasir. Konon pasir tersebut dibawa jauh dari Pantai Selatan. Tapi hati-hati ya kalau sedang berjalan-jalan di area ini, karena masih ada saja orang yang hobi meludah sembarangan, kalau terinjak kan jijik --".


4. Alun-Alun Selatan
Puas jalan-jalan di Kraton, kami langsung menuju Alun-Alun Selatan untuk makan siang. Karena jaraknya tidak terlalu dekat untuk berjalan kaki di tengah siang bolong, kami memutuskan untuk naik becak dengan mencari yang mau dibayar mureee. Tapi yang namanya abang becak, masih saja ada yang suka bilang "kalau dekat, jalan kaki aja" tiap ditawar :(. Beruntung masih ada yang baik hati dan tidak sombong dan mau mengantar kami ke alun-alun dengan ongkos Rp 7000 saja :).
Saat becak memasuki kawasan Alun-Alun Selatan, saya mulai bingung karena ternyata tempatnya sepi sekali. Dan penjual makanan yang ada hanyalah bakso-bakso bakar yang berjejer hampir di setiap meter pinggiran lapangan. Abang becaknya pun mungkin bingung mau diantar kemana sebenarnya gadis-gadis ini karena kami sama sekali tidak bilang "stop", "di sini pak" atau apapun. Alhasil ia pun menurunkan kami tepat di samping kandang kerbau. Mungkin ia pikir kami ingin melihat kerbau-kerbau yang konon masih kepunyaan kraton itu...
Gerobak bakso bakar yang mangkal di bawah pohon rindang pun jadi pilihan kami. Empat tusuk bakso bakar berbeda rasa (yang pada saat dimakan semua rasanya sama saja) seharga Rp 1000/tusuk masing-masing kami habiskan siang itu. Hingga tiba giliran ingin difoto, kamipun minta tolong pada mas-mas yang juga sedang lesehan bersama teman prianya di tikar sebelah. Sedikit ngga enak hati karena mas-mas ini tampak agak sangar dan malas saat kami mintai tolong. Tapi ketika saatnya di foto, dia minta mengulang seraya berkata "yang cute dong," ujarnya protes melihat wajah kami yang mungkin tidak terlihat kiyut di matanya. Hadeh si mas bisa aja, mas sudah mas...

5. Pasar Klewer, Alun-Alun Utara dan Masjid Agung
Rasanya tidak salah kami menerima tawaran sopir taksi tadi untuk pergi ke Kraton Kasunanan, karena area ini bisa dibilang merupakan paket komplit untuk sebuah objek wisata. Selesai dari Alun-Alun Selatan, kami langsung mengarah ke Pasar Klewer, masih dengan becak Rp 7000 tentu saja, karena kalau jalan lumayan jauh hehee. Kata orang-orang, Pasar Klewer ini salah satu pusat belanja batik di Solo yang wajib dikunjungi. Tapi kok ya saya lebih suka belanja di Beringharjo-nya Jogja daripada di sini. Mungkin karena jarak dari satu toko ke toko lainnya sempit sekali, ditambah lagi terkadang kalau ingin dapat murah harus beli minimal tiga agar dikasih harga grosir, dan semakin ke dalam baju-baju yang dijual bukan hanya batik, tapi baju-baju biasa yang banyak dijumpai di tempat perbelanjaan lain. Hmmm...
Sayapun keluar dari Pasar Klewer dengan tangan kosong, mencari kesegaran dari es dawet sambil menikmati suasana kemeriahan pasar raya Sekaten di Alun-Alun Utara, lalu menuju Masjid Agung untuk shalat Zuhur sambil beristirahat menanti Ashar. Hari-yang-mulai-terasa-melelahkan.

6. Galabo
Begitu keluar dari area Kraton Kasunanan dan sekitarnya, ternyata tempat selanjutnya yang akan kami kunjungi pun sudah di depan mata. Gladag Langen Bogan alias Galabo yang katanya merupakan wisata kuliner Solo melambai-lambai ke arah kami dari Jl. Mayor Sunaryo. Sayangnya sore itu kedai-kedai makanan yang berjejer di sana masih tutup karena mereka memang buka pada malam hari. Jadilah kami hanya menikmati Lekker Crispy rasa coklat pisang yang mangkal di depan tempat perbelanjaan Pusat Grosir Solo.
Ketika berdiri di seputaran Galabo ini, kami sempat melihat bus tingkat berwarna merah melintas dengan megahnya. Itu dia Werkudara yang ingin kami naiki! Bus dengan tarif Rp 20000 yang bisa membawa kita keliling kota Solo dan berhenti di objek-objek wisata tertentu. Tapi sayang sungguh sayang, setelah menghubungi nomor kontaknya di 085642005156, ternyata tiket untuk bus tersebut harus dipesan minimal satu hari sebelumnya, dan selama libur tahun baru kemarin penjualannya sudah sold out hingga tanggal 2 Januari. Hiks!

7. Nasi Liwet Wongso Lemu
Menjelang maghrib, Solo pun diguyur hujan. Saat yang tepat untuk menikmati Nasi Liwet Wongso Lemu yang kabarnya memang baru buka pada pukul 17.00. Dengan taksi yang diperolehnya susah minta ampun, kami meluncur ke Jl. Teuku Umar yang ternyata tidak terlalu jauh dari Galabo (tapi tetap saja jauh dan basah kalau jalan kaki) dan juga semakin mendekat ke arah penginapan kami. Bahkan angka argonya pun masih menunjukkan angka Rp 4000-an. Belum habis rasa kaget kami, deretan kedai nasi liwet di pinggir jalan kembali membuat bingung. Yang recommended yang mana ya? Semua kedai mengaku ASLI. Saya pun refleks googling. Tapi apa kata bapak sopir saat kami minta meminggirkan mobilnya sejenak? “Ini yang betul mau ke mana? Kalau ngga saya mau cari penumpang lain,” ujarnya dengan nada kurang sopan. Pfft! Kalau ngga hujan rasanya ingin turun saat itu juga. Akhirnya kami terpaksa meminta beliau memutar (karena jalan tersebut satu arah) dan kembali ke deretan kedai yang pertama lalu memilih seadanya.
Kedai yang kami masuki kalau tidak salah bernama 99, sepertinya tidak salah pilih karena di salah satu dindingnya banyak foto artis yang pernah berkunjung ke sana *lah*. Nasi Liwet Wongso Lemu ternyata sama sekali tidak seperti liwet yang biasa saya makan. Mungkin memang seperti ini ya nasi liwet di tanah Jawa? Tampak seperti nasi biasa dengan tambahan lauk tahu, tempe, telur, ayam dan lain-lain. Tapi buat lidah saya sih ngga masalah, yang bikin geli adalah -layaknya kebiasaan di sana- si mbaknya mengambilkan lauk langsung dengan tangan kosong. O iya, salah satu yang bikin maknyus nasi liwet ini adalah sambalnya yang berupa butiran cabe rawit rebus yang ditaruh dalam mangkuk kecil di tiap meja. Slurp! Harga nasi liwet ini berada di kisaran Rp 20000an, itupun dengan tambahan ayam yang sepertinya memang ayam kampung. Dan ini adalah makanan terberat kami di hari itu, walaupun bagi kami tetap saja porsinya sedikit, hihi.

8. Taman Sriwedari
Selepas Isya, kami masih tak henti-hentinya membicarakan rasa sakit hati pada sopir taksi tadi dan cerita-cerita tak mengenakkan lainnya di Solo. Mulai timbul pemikiran bahwa sepertinya cukup sekali saja kami datang ke kota ini, bahkan Mita telah menghapus Solo dari daftar tempat untuk berbulan madu. Untuk menghibur diri, kamipun berencana pergi ke mall-nya Solo setelah berkunjung sebentar ke Taman Sriwedari. “Di Sriwedari cuma nonton Wayang Orang doang kan? Ga usah lama-lama lah kita juga ngga akan ngerti bahasanya,” begitu kata Welly dan kamipun mengiyakan. Maka meluncurlah kami ke Taman Sriwedari di Jl. Slamet Riyadi menjelang pukul 08.00 malam. Letaknya tidak terlalu jauh dari penginapan, jadi saya dan Welly memutuskan untuk berjalan di city walk sementara Mita dan Rika naik becak. Sesampainya di sana, ternyata tidak sesepi yang orang-orang bicarakan. Malahan kami sampai harus naik ke balkon di lantai dua karena kursi di lantai satu sudah banyak terisi. Setelah mengambil tempat yang lumayan nyaman, kamipun mulai menikmati pertunjukan yang tiketnya seharga Rp 3000 saja itu.
Layar panggung dibuka. Sekelompok pemain berpakaian adat kerajaan mulai beraksi dengan bahasa yang sama sekali tidak kami mengerti. Big screen di sebelah kiri panggung pun hanya menceritakan garis besar cerita tiap babak, bukan subtitle seperti yang saya harapkan *yakali*. Jadi malam itu, kisah yang dimainkan adalah tentang perjuangan seorang pangeran kerajaan bernama Permadi untuk bisa menikahi putri dari kerajaan lain. Kalau diperhatikan, yang jadi Permadi cakep juga, bening, begitu pikir saya dalam hati. Dan ternyata, tanpa saya ketahui, itu juga yang ada di pikiran teman-teman saya hingga akhirnya kami terjebak menonton pertunjukan itu sampai selesai pukul 23.00. Lupa sudah niat kami untuk pergi ke mall. Bahkan saya yang sempat tertidur beberapa kali pun tetap enggan untuk beranjak dari sana. Lalu kami menyimpulkan bahwa ini pasti sihir dari Permadi :)). Hingga akhirnya iapun sukses menjadi alasan jika kami kembali lagi ke Solo suatu hari nanti karena kami tidak sempat berfoto dengannya malam itu. Ah, Solo memang penuh kejutan...

9. Gudeg Ceker Bu Kasno
Pulang dari Taman Sriwedari kami sengaja langsung beristirahat karena akan bangun kembali pukul 02.00 untuuuk: Gudeg Ceker Bu Kasno! Yak, dini hari itu kami meluncur ke Jl. Wolter Monginsidi kawasan Margoyudan dalam rangka wisata kuliner. Sesampainya di sana, wow ramai sekaliii! Tidak hanya warung tendanya yang penuh tapi juga lesehan yang ada di pinggiran jalan sekitarnya. Beruntung kami masih mendapat tempat di dalam tenda berupa bangku-bangku panjang yang berjejer  ke depan layaknya kursi di ruang tunggu, tanpa meja. Tidak heran kalau tempat ini sangat banyak peminatnya hingga harus mengantre karena Gudeg Ceker-nya memang enak, sodara-sodara! Sejauh ini, inilah makanan di Solo paling uenak yang kami rasakan. Malam itu kami makan seporsi gudeg ceker yang harganya tidak sampai Rp 20000.

10. Istana Mangkunegaran
Masih penasaran dengan Istana Mangkunegaran, pagi harinya kami pun memutuskan untuk pergi ke sana. Dan ternyata letaknya tidak jauh juga dari tempat kemarin kami makan nasi liwet, yaitu di Jl. Ronggowarsito. Istana alias Puro Mangkunegaran buka setiap hari kecuali Jumat dari pukul 09.00-14.00, sedangkan Minggu hanya sampai pukul 13.00. Dari depan, istana ini tampak sepi dan gersang. Kamipun masuk setelah membeli tiket Rp 10000 dan dipandu oleh seorang guide bernama mas Dodi. Kata bapak penjual tiket, mas Dodi ini nanti boleh dibayar berapa saja seikhlasnya, okesip!
Selain bisa minta tolong mengambilkan foto *halah*, enaknya pakai guide kita jadi tahu lebih detail mengenai sejarah istana dan semua benda peninggalan yang ada di dalamnya (dan dipastikan insiden semacam kereta kencana pun tidak akan terjadi :p), termasuk tentang Paundrakarna yang ternyata adalah bagian dari keluarga istana ini, hihi. Istana Mangkunegaran memang terasa lebih nyaman dibanding Kraton Kasunanan, pantas saja ada yang bilang kalau orang-orang pun lebih memfavoritkan tempat ini.

11. Srabi Notosuman
Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Srabi Notosuman. Kata bapak sopir taksi yang mengantar ke Kraton Kasunanan kemarin, kalau mau beli oleh-oleh ya srabi saja. Hah? Srabi kok buat oleh-oleh sih, pikir saya sambil membayangkan Surabi Enhai yang biasa saya makan di tempatnya langsung saat di Bandung. Dan begitu kami tiba di toko Srabi Notosuman – Ny. Handayani di Jl. Moch. Yamin, barulah saya mengerti kalau srabi yang ini memang berbeda. Ada dua rasa yaitu biasa (Rp 1800) dan coklat (Rp 2000), bisa pesan satuan ataupun perdus. Kamipun membeli satu dus berisi 10 srabi campur seharga Rp 19000. Tidak berminat membeli untuk oleh-oleh karena srabi ini sudah pasti tidak tahan lama. Dan ternyata untuk membeli satu dus pun kami harus mengantre dengan banyak pembeli lain, beruntung bisa ditinggal sehingga kami bisa mengisi perut dulu sambil menunggu pesanan jadi kira-kira setengah jam kemudian. Begitu dicoba, nyammm! Enak! Perpaduan rasa gurih, manis (untuk yang rasa coklat), dan teksturnya yang lembut benar-benar pas. Jangankan dimakan selagi hangat, saat sudah dinginpun masih enak. Dan membayangkannya sekarang bikin saya jadi ngiler...

Pulang dari Srabi Notosuman, ada sebuah kejadian yang lagi-lagi tidak akan kami lupakan. Bermula dari taksi tanpa argo yang kami naiki untuk mampir ke hotel sebentar mengambil barang lalu lanjut ke stasiun. Taksi tersebut mengaku taksi bandara sehingga tidak memasang argo, akhirnya berdasarkan pengalaman kami bilang saja akan membayar Rp 15000 seperti taksi-taksi lainnya, bapak sopir pun tidak banyak komentar. Sesampainya di hotel, dengan tergesa karena khawatir taksi menunggu lama, kami langsung naik ke lantai dua, mengambil barang-barang yang sudah dirapikan sejak pagi, check out, lalu... KE MANA TAKSINYA?! "Pak, lihat taksi yang ada di sini ngga tadi?" tanya saya pada bapak yang ada di parkiran. "Oh sudah pergi..." jawabnya. Taksinya kabur, sodara-sodara.. Dan dia belum dibayar...

12. Solo Balapan
Dengan taksi baru kami menuju stasiun Solo Balapan untuk melanjutkan perjalanan ke kota selanjutnya. Hujan mengiringi kepergian kami siang itu. Dan Solo Balapan menyambut kami dengan antrian puanjaaang karena loket Prambanan Ekspress yang seharga Rp 10000 itu baru akan dibuka satu setengah jam kemudian, sedangkan kereta sendiri dijadwalkan baru berangkat tiga jam lagi. Ini dia risikonya kalau sulit mengecek jadwal, waktu terasa terbuang percuma. Tapi apa boleh dikata, di luar hujan deras dan tidak ada pilihan lain selain menunggu.
Diam-diam saya merasa bangga bisa berada di stasiun ini, sebuah tempat legendaris yang biasanya hanya sering saya dengar lewat lagu Setasiun Balapan milik Didi Kempot. Petualangan selama satu setengah hari di Solo silih berganti muncul di benak hingga menyunggingkan senyum di bibir saya. Mungkin suatu hari saya akan kembali ke kota ini, untuk kembali menyantap Srabi Notosuman, merasakan Selat yang belum saya cicipi, dan untuk Permadi :))

Bersambung...